Larissa telah selesai memasak, terdapat dua piring berisi nasi goreng di atas meja. Larissa sedang mengisi air putih ke gelas saat ia melihat Ben dan wajahnya yang basah. "kakak butuh handuk?"

"Tidak usah."

"Nasi gorengnya udah masak."

"Baunya harum."

Mereka makan bersama. Ben duduk di seberang Larissa, menikmati nasi di piringnya. "Enak," ujarnya santai.

Gadis itu menaruh senyum di bibir. "Aku nggak keberatan sering-sering masak untuk kakak."

Ben nyaris tersedak. Begitu lekat ia memperhatikan Larissa sampai gadis itu salah tingkah. Ben akhirnya menyadari apa yang ia rasakan. sejuta kalipun ia menyangkalnya, hatinya tak dapat berbohong. "Setiap hari sehabis pulang kerja aku akan datang."

"Eh!" kali ini Larissa yang nyaris tersedak. "Biasanya aku pulang kerja lebih sore, kak. bahkan sampai malam. hari ini aku bisa ada di rumah karena hari liburku. Besok aku pulang malam."

"Aku bisa menunggu di dalam. Berikan saja kunci padaku." Nasi goreng di piring Ben habis tak bersisa, pria itu benar-benar menyukainya. Melihat gelagat aneh Larissa, Ben berkata kemudian. "Maaf, aku tidak bertanya lebih dulu apakah kau mau melakukannya. aku seperti memaksakan keinginanku. kalau kau keber---."

"---aku nggak keberatan, kak. kalau kakak datang, aku akan memasak untuk kakak."

Perasaan puas yang asing dirasakan Ben saat Larissa mau memasak untuknya setiap ia datang. "Terimakasih."

****

Keesokan harinya Ben benar-benar datang. Larissa tidak ada di kamar kosnya karena belum pulang kerja. Ben masuk dengan kunci yang diberikan Larissa kepadanya. Hanya mengenakan kaos dalam dan celana kerja, Ben duduk sembari mendengarkan seorang wanita mengoceh di dalam Televisi.

setengah jam berlalu, Larissa belum menunjukkan batang hidungnya. Ben berjalan ke kulkas, memeriksa isinya. ia menemukan roti kering. Saat masih tinggal di rumah orangtuanya, Larissa sering memasak roti kering seperti itu untuk dinikmati bersama. Ben mengira gadia itu takkan melakukannya lagi, ternyata Larißsa masih.

Sekeping roti kering lumer di mulut Ben, seperti biasa rasanya enak. Mengambil sebagian lalu Ben menutup kulkas.

Tak lama pria itu kembali duduk di sofa, pintu terbuka. Larissa dengan wajah lelah seharian bekerja tetap menawan.

"Hari ini toko sangat ramai," ujarnya dengan tentengan belanjaan di tangan. "Kakak sudah lama datang?"

"Belum." Ben berbohong. "Aku mengambil roti di kulkasmu."

Larissa mengganguk. "Kemarin aku memasak sedikit. Nicky memintaku memasakkan untuknya."

Ben berhenti mengunyah, tiba-tiba ia haus. "Sejak kapan kau jadi tukang masaknya?"

Larissa terkejut dengan nada keras suara Ben. Plastik yang ia bawa tadi diletakkannya di meja dapur. "Nicky temanku, kak." katanya menjelaskan. "Dia suka roti yang kubuat, dia bertanya apakah aku menjualnya. Aku yang menawarkan memasak untuknya." Sambung gadis itu. "Nicky baik padaku, dia selalu mau membantuku, kak."

"kau bisa bilang padaku jika butuh bantuan."

"Kakak selalu sibuk dengan si Alice-Alice itu," cibir Larissa. Satu-persatu bahan makanan yang dibelinya iamasukkan ke kulkas. "Aku nggak mau merepotkan kakak."

Ben membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu namun urung. Ia berdiri mengambil air minum. "Ceritamu membuatku haus."

"Tadi Nicky yang mengantarku pulang." Entah kenapa Larissa memberitahu Ben.

Ben tersedak air putih, kaos yang dipakainya basah di bagian depan. Bola matanya yang hitam menelisik tajam ke arah Larissa. "Tidak bisakah kau berhenti menyebut nama si kacamata itu?"

Larissa pura-pura tidak menyadari ekspresi Ben yang kesal. "Aku akan membuat dua porsi mie kuah, kakak suka?"

"Kalau kau menyebut nama pacarmu itu lagi, mungkin aku akan muntah."

Larissa meringis, mengalah untuk sementara. Gadis tersebut membiarkan Ben mengira ia dan Nicky pacaran. Terserah lelaki itu berpikiran apa, yang penting ia  sudah mengatakan bahwa Nicky temannya. Bila Ben tidak percaya, terserah pada pria itu.

Semangkok mie kuah dengan porsi besar masuk ke perut Ben. Ia benar-benar kenyang. Larissa yang merapikan mangkok kosong sementara Ben bersandar tak berdaya di sofa, ia terlalu kenyang. Masakan Larissa terlalu enak untuk disisakan.

"Kau pernah memasakkan pacarmu seperti yang tadi?"

Melap tangan yang basah, Larissa melirik Ben. "Nic---"

"--Kubilang jangan sebut namanya."

Gadis tersebut menghela napas. "Belum."

"Jangan pernah memasak yang seperti tadi untukknya!"

"kenapa?" Kening Larissa berkerut.

"Jika kau sudah memasak satu masakan untukku, jangan memasak untuknya juga. Dan yang sudah pernah kau masak untuk pacarmu, jangan masak untukku lagi." Ben tahu ia kekanakan, tapi persetan. "Aku tak ingin memakannya."

"Lalu bagaimana dengan kue yang kakak makan tadi?" Tanya Larissa. "Aku sudah memberinya."

"Yang lebih dulu memakan roti itu aku," tegas Ben. "Pacarmu yang tidak boleh memakannya lagi."

Ben benar-benar kekanakan.


Bersambung...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Miss PossesiveWhere stories live. Discover now