Sudah jelas ini kan ruangan kami, mereka tinggal masuk, tidak perlu permisi sama siapa pun. Toh tidak mungkin juga ketika membuka pintu, di dalamnya ada orang sedang man ... great! Pintu terbuka, wajah yang seminggu ini tak kulihat nyempil di celah pintu.

Seharusnya aku bisa ngeh, siapa lagi yang akan mengetuk pintu ketika akan masuk ke ruangan ini kalau bukan Birendra? Dan Kak Erlyn tentu aja. Mungkin juga Kak Erlyn yang mengajarinya.

"Sorry," lirihnya. Terlihat kikuk. Kok aku juga ikutan salah tingkah? "Mau cari Aris, nggak di sini ya?"

"Nggak ada, Mas." Aku menelan ludah.

Dia tidak akan membenciku atau yang lebih buruk memecatku hari ini, kan?

"Okay!" serunya. "Thank you, Gree."

"Y-ya."

"Boleh masuk?"

"Hm?" Bagaimana mungkin aku bilang tidak boleh? Ini bukan di kost yang menjadi area kuasaku. Di sini, aku adalah karyawannya. Kami partner kerja. Tidak seharusnya semua perasaan canggung ini mengganggu fakta itu. "Ya, Mas. silakan."

Ia melangkah mendekatiku, duduk di sebelah. Aku seketika bisa mencium wanginya. Seperti bau hutan, hahaha. Greesa, Greesa. Melirik lewat sudut mata, aku melihatnya hari ini tampil biru-biru. Maksudku, ia mengenakan celana jeans biru dongker, kaos putih dan kemeja denim sebagai outer. Rambutnya dicepol rapi.

Dia ... jelas selera banyak orang.

Kecuali aku, demi kebaikan. Kalau ditanya sungguh-sungguh, apakah aku mau hidup dengan orang sepertinya? Jelas lah. Dia seksi, meski sifatnya bukan yang langsung tertarik di awal jumpa. Seperti yang sudah kubilang, dia ... seperti punya layer. Layer pertama tak menarik hatiku, layer kedua, mulai kebingungan, dan ini entah sudah layer ke berapa.

Jangan deh.

Pokoknya jangan.

Tertarik aja boleh, jangan dilanjutkan. Mengagumi lebih baik.

"Gree."

"Ya?" Kami saling tatap.

"Aku udah mikirin seminggu ini, boleh aku ngomong pendapatku?"

Aku mengangguk.

Dia mengembuskan napas pelan, lalu membuka suara. "Normalnya, seseorang ditolak mentah-mentah di awal karena memang udah red flag. Aku bukan tipemu, aku bikin kamu takut, atau aku nggak layak buatmu. Tapi ...." Ia diam sesaat. "Kamu tolak aku karena kita berbeda. Soal apa? Uang? Kamu nggak ngerasa ini nggak adil? Seenggaknya, kamu kasih aku kesempatan buat buktiin dulu."

Oh ....

Ini ... panjang dan aku butuh waktu mencernanya.

Tapi pada akhirnya, aku lega karena bisa memberinya senyum dan mendapatkan otakku kembali. "Justru itu poinnya, Mas." Melihat dahinya berkerut, aku sempat tertawa pelan. "Buat apa dikasih kesempatan kalau udah tahu ending-nya bakal gimana?"

"Kamu udah bisa tahu ending-nya bakalan gimana?"

"Aku cinta kamu, kamu mungkin cinta aku, tapi semuanya nggak akan mudah, dan pada akhirnya aku harus sakit hati lagi. Kita sakit hati. Jadi, buat apa?"

Ia menggelengkan kepala.

"Coba sekarang aku tanya." Aku sedikit menyerongkan tubuh, supaya benar-benar bisa memandangnya. "Kenapa sikapmu berubah? Kamu tahu, jauh lebih baik kamu yang di hari pertama kita ketemu. Aku lebih lega kamu bertingkah friendly dan flirting di saat yang sama, jadi aku tahu itu untuk semua orang." Aku diam sebentar, menelan ludah lumayan susah. "Kenapa lama-lama, kamu jadi seolah ... innocent? Aduh, aku nggak bisa deskripsiin tapi aku tahu kamu berbeda. Who are you, Bi?"

katanya, cinta banyak caraМесто, где живут истории. Откройте их для себя