Grahita - Boboiboy Halilintar

Comenzar desde el principio
                                    

"Ya udah tulis ulang. Kamu yang tulis," titah Halilintar mutlak. "Usahakan tulisannya mirip denganku. Aku tidak mau kena hukum Pak Didin kalau sampai beliau curiga."

(Name) menelan ludah. Diam-diam ia memegang tangannya, bayangan tangan yang dipatahkan oleh Halilintar melintas di benak sang gadis. Secara pemuda itu jawaranya pencak silat.

"O-oke.. ta-tapi jangan... jangan salahin aku kalau tulisanku tidak rapi!"

Satu dehaman singkat sebagai tanda setuju Halilintar. Segera saja (Name) mengibrit ke koperasi beli kertas folio lalu menulis kembali esai itu dari haksil salinannya tadi pagi.

(Name) sudah yakin kertas itu sudah ia taruh dengan benar di meja Halilintar. Lalu bagaimana bisa menghilang semudah itu?

'Ah, bomatlah daripada tanganku taruhannya,' batin (Name) pasrah. Tersenyum kecut atas kesialannya hari ini.

Berkebalikan dengan sang gadis yang ketar-ketir menulis ulang esai yang panjang, Halilintar dalam hati menertawakan kesialan sang gadis. Siapa suruh membuatnya kerepotan.

'Lumayan, sih, hiburan. Eh, tapi gawat juga misalnya ini anak enggak beresin tugasnya. Enak aja dia dapat nilai, hasil nyontek lagi. Lah aku, yang punyanya malah kena ampasnya aja,' omel Halilintar dalam hati.

"Nih, enggak usah cemberut gitu. PR Abang enggak hilang, kok, tadi aku pinjam bentar buat nyontek," seloroh Taufan tiba-tiba mendatangi meja Halilintar.

Dikira hilang ternyata objeknya lagi dipinjam. Kalau (Name) tahu, pasti dia langsung mengeplak Taufan dengan keras. Ingin Halilintar adukan kepada sang gadis, tapi tampaknya dia tidak akan melakukannya. Sebab melihat (Name) yang sengsara dan tengah bekerja keras (tambahan gerutuan dari mulutnya) menjadi kesenangan tersendiri bagi Halilintar.

'Semangat nulisnya, perempuan cerewet.' Halilintar tersenyum simpul.

"***"

[TETANGGA]

Seluruh warga sekolah pasti mengetahui bagaimana lengketnya (Name) terhadap Halilintar, ditambah dengan fakta bahwa mereka adalah tetangga.

Namun, ribut tak pernah absen di antara mereka berdua.

"Bilangin ke adikmu, kalau ada Mamahku jangan rajin-rajin, ya. Aku kena omel mulu."

Seringaian mengejek terbit di wajah Halilintar. "Ya bagus, dong, biar kamu ada kerjaan."

"Enak saja! Aku juga suka bantu beresin rumah tahu!" (Name) berkilah dengan cepat.

"Iya, tapi sambil gerutu terus."

Oke, itu memang fakta, jadi (Name) menutup mulutnya.

Namun jika saja sang ibu tidak terus membandingkannya dengan tetangga pasti (Name) dengan senang melakukan segala perintahnya.

'Bandingin aja terus sampai anaknya kena mental.'

Akan tetapi (Name) tidak mungkin membenci Mamahnya. Bagaimana pun juga (Name) masih ingin menyantap nasi goreng buatan beliau atau pun makan siang dengan sayur asem dan ikan asin apalagi ditambah sambal, beuh mantap!

"Setidaknya kamu sebagai anak perempuan harus rapi. Kamar berantakan, sering lupa jadwal mapel, sering kesiangan pula. Kamu kalah sama dengan Gempa yang cowok, bangun tidur rapikan kasur, habis makan langsung dicuci alat makannya. Bahkan sepupuku saja yang katanya malas enggak ketulungan, masih mau membereskan kamarnya dan menyiapkan jadwal mapel sebelum tidur," ucap Halilintar panjang lebar.

Pemuda itu heran dengan sifat sang gadis yang berantakan. Padahal Yaya perempuan yang dikenal kegalakannya seantero sekolah masih selalu menomor satukan yang namanya ketertiban. Lah dibandingkan dengan Yaya, si (Name) ini lebih amburadul.

Sementara itu (Name) cukup takjub pemuda itu ternyata bisa juga jadi bawel.

"Kamu jadi mirip Mamah, deh," sindir (Name). Mengangkat kedua alisnya dan tersenyum menyebalkan.

Tidak ada gunanya menceramahi (Name) kalau ujung-ujungnya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Dia seperti menulikan diri. Namun anehnya Halilintar masih bersedia untuk mengingatkan sang gadis.

Hanya satu hal yang jadi pegangan sang pemuda. Halilintar bersikap seperti itu tidak lebih karena dia ingin menjadi tetangga. Karena orang terdekat selain keluarga adalah orang yang di sekitarmu, tetangga.

"***"

[GAGAL FOKUS]

Pernah di jam olahraga (Name) sampai tidak fokus. Dikarenakan di pinggir lapangan Halilintar mengawasinya, jelas pemuda itu bukan karena ingin menonton (Name) bermain bulu tangkis.

'Aku punya salah apa, sih, sama kamu, Lin? Serem tau dipelototin gitu,' batin (Name) ngeri.

'Boleh juga dia mainnya, tapi kok gemetar gitu? Masa sih dia nervous dilihatin orang banyak?' Sambil bersedekap, Halilintar mengomentari sang gadis.

"Heh, mentang-mentang dilihatin doi kamu lihatin dia terus." Rekannya satu tim mengingatkan (Name). Mereka tengah bermain dalam posisi tim ganda putri.

(Name) hanya tersenyum hambar. Memangnya siapa yang senang saat kamu ditatap intens dengan teman bebuyutanmu yang galak. Kalaulah bisa (Name) akan langsung lari saja.

"***"

Lalu inti dari kisah ini sebenarnya apa? Halilintar pun bingung harus menyimpulkannya bagaimana. Karena bagi dia kehidupannya hanya seputar tetangga, teman sejak kecil, juga mungkin di masa yang akan datang jadi lebih dari itu. Siapa lagi kalau bukan (Name), seorang gadis yang mampu membuat Halilintar selalu ingin memahami dia.

· · ─────── fin ─────── · ·

A/N:

Uyeeey, beres! DL memang mengerikan, heuheu ...

Akhirnya kesampaian buat ikutan event dan kolabarasi dengan banyak orang dengan berbagai fandom >///<

Terima kasih sudah menyempatkan waktu kalian untuk membaca fanfiksi ini. Maaf misalnya garing :< // yhaa

LokalDonde viven las historias. Descúbrelo ahora