Part 2

13 3 3
                                    

Vanya terduduk lemas di antara rerumputan. Pagi tadi, sebelum matahari terbit, gadis itu dipaksa bangun oleh sang nenek dan dibawa ke ladang. Karena sekarang adalah musim panen, Nenek Sunisa ingin Vanya membantunya memanen lombok dan tomat. Hasil panen itu nantinya akan dijual pada pedagang yang datang dari kota. 

Nenek Vanya memang memiliki perkebunan sayur yang cukup luas. Berkat itu, ia bisa membuka lapangan pekerjaan untuk penduduk desa lainnya. Nenek juga sering membantu pekerja lain di ladang jika sudah masuk musim panen seperti sekarang ini.

Akan tetapi, bukannya membantu sang nenek, Vanya malah berbaring di atas rumput. Beberapa penduduk yang ikut memanen bersama mereka menatap Vanya dengan tatapan aneh. Mungkin mereka heran kenapa nenek yang pekerja keras memiliki cucu yang pemalas seperti Vanya.

Gadis itu tidak bodoh. Ia sadar jika beberapa penduduk menatapnya tidak suka. Namun, Vanya mengabaikannya. Toh, ia sendiri juga tidak menyukai mereka.

"Nenek, aku pulang duluan, yah," Vanya merengek seperti anak kecil dengan wajah memelas. Melihat hal itu, Nenek Sunisa pun kasihan pada cucunya.

"Pulanglah. Nenek akan menyusul setelah ini selesai." 

Vanya langsung membalasnya dengan anggukan antusias. Ia bangkit, lalu menepuk-nepuk bokongnya untuk membersihkan kotoran yang menempel di celana yang dia kenakan.

"Dadah, Nenek." Gadis itu melambai-lambaikan tangannya sebelum beranjak meninggalkan ladang.

Vanya kembali ke rumah sambil bersenandung ria. Tangannya pun sudah gatal ingin segera memegang ponsel. Jarak antara rumah nenek dengan ladang cukup jauh. Mungkin butuh waktu sekitar 20 menit jika berjalan kaki. Namun, Vanya bisa sampai hanya dalam 10 menit karena berlari. 

Meski sikapnya manja dan malas, Vanya memiliki satu hobi yang selalu rutin ia lakukan. Saat tinggal di kota, setiap sore, gadis itu akan pergi taman kota dan melakukan jogging bersama teman-temannya. Berkat itu, berlari bukanlah hal yang sulit untuk ia lakukan. 

Sesampainya di rumah, gadis itu langsung membersihkan dirinya di kamar mandi. Setelah itu, ia pergi ke kamar untuk rebahan dan bermain ponsel.

Dalam perjalanan pulang tadi, ia berharap teman-temannya menghubunginya. Akan tetapi, saat mengecek ponsel, tidak ada satu pesan pun dari temannya. Bahkan sejak ia pergi, temannya tidak ada yang mengantar atau sekadar menanyakan kabar. Seolah-olah dirinya telah terlupakan. 

Di ponselnya memang ada panggilan masuk. Namun, bukan dari temannya. Akan tetapi, itu panggilan dari ibunya. Vanya yang masih merajuk pun enggan menelepon balik. Karena kesal, gadis itu menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. 

Tok...tok...tok

Suara ketukan pintu dari luar mengganggu waktu istirahat Vanya. Mau tidak mau, gadis itu terpaksa keluar untuk melihat siapa yang datang. Setelah membuka pintu, ia mendapati seorang gadis desa berdiri di depan rumah. Vanya bisa merasakan tatapan tidak bersahabat dari gadis desa yang tidak dia kenal itu. 

"Siapa?" tanya Vanya dengan kening berkerut. 

"Saya Reni. Salah satu pekerja di ladang yang tadi."

Vanya menganggukkan kepala, "Ah, ada keperluan apa, yah?"

"Kata Nenek kamu tidak bisa memasak. Jadi, saya disuruh memasak buat kamu."

"Masuk, masuk. Kebetulan banget aku lagi laper." Saat ini memang sudah waktunya untuk makan siang. 

Reni melenggang masuk setelah dipersilahkan. Meski Vanya sudah berusaha tersenyum padanya, tetapi gadis itu malah menunjukkan raut ketus. Jika bukan karena disuruh oleh nenek, mungkin dia sama sekali tidak ingin berada di dekat Vanya.

A Shoulder To Cry OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang