Bagian 2

143 28 65
                                    

Suasana kantin asrama mulai ramai di sore hari. Radinka memutuskan pergi ke kantin setelah turun dari bis kampus. Ia membeli satu porsi bakso dan es jeruk lalu membawanya ke sebuah meja kosong. Ada cukup banyak orang mengenalinya di tempat itu, mengingat Radinka adalah salah satu mahasiswa yang bisa mempertahankan posisinya sebagai penghuni asrama selama lima tahun.

Peraturan mengharuskan setiap mahasiswa hanya tinggal di asrama selama dua tahun. Setelah melewati semester empat, Radinka keluar asrama untuk tinggal di indekos dekat kampus selama satu semester. Ia mendaftar lagi ke asrama pada semester berikutnya. Menjadikannya penghuni lama dan tergabung ke dalam Senior Resident.

Radinka tersenyum senang saat menyadari Nana memasuki area kantin. Ia melepas earphone dari kedua telinganya sembari memanggil, "Na! Sini!"

Perempuan bersurai cokelat gelap itu mengedarkan pandangan hingga kedua matanya bertemu dengan sosok Radinka. "Oke," katanya. Ia kemudian bergabung ke meja itu membawa satu porsi ayem geprek dan jus jeruk. "Tumben lo makan sore," ujarnya.

"Tadi nggak sempet makan siang di kampus," balas Radinka. Ia menutup buku tebalnya di samping mangkuk bakso yang sudah tersisa separoh. "Btw, Na, kenapa tadi ada ambulans banyak banget, ya? Biasanya cuma ada dua, tadi empat kayaknya. Ada pingsan masal?" tanyanya.

"Jangan ngawur!" jawab Nana sedikit keras. Ia kemudian melirik beberapa mahasiswa di sekitarnya. "Emang lo nggak denger apa-apa dari tadi?"

"Dari tadi gue pake ini, nih." Radinka mengangkat earphone putih dari atas meja. "Kenapa, sih?" tanyanya lalu mengunyak baksonya lagi.

"Pangeran pingsan."

Saat itu juga Radinka tersedak hingga ia buru-buru mengambil es jeruknya. Setelah cukup tenang, ia menatap bingung ke arah Nana. "Maksud lo si Davin? Davin pingsan?" tanyanya tidak percaya.

Nana mengiris ayam gepreknya seraya menjawab, "Yang gue denger, sih, gitu. Rame banget tadi, tuh. Kalau nggak salah, orang kedutaan sampe dateng ke sini. Heboh banget tadi sampai pada berkerumun di lobi."

Radinka bisa membayangkan kehebohan itu. Davin berdiri dikelilingi lima pengawal saja sudah menarik perhatian banyak orang, apalagi jika sampai orang-orang di kedutaan datang langsung untuk memastikan kondisi sang pangeran. Seandainya Davin adalah pangeran utama di kerajaan seperti Pangeran William dari Kerajaan Inggris, pasti area asrama akan dikepung banyak wartawan.

Dari informasi yang Radinka temukan di internet, Davin merupakan seorang anggota keluarga Kerajaan Norwegia yang tidak mewarisi garis keturunan dari Raja Harald V. Meskipun begitu, Davin tetap mendapat jaminan keselamatan sehingga ia memiliki beberapa pengawal pribadinya sendiri.

"Din, menurut lo kenapa Prince Davin pingsan?"

Pertanyaan itu menyentak lamunan Radinka. Ia tidak lekas menjawab. Ingatannya berkelana pada suatu sore minggu lalu saat melihat sendiri wajah pucat Davin. Kondisi Davin yang terlihat kurang fit membuatnya sedikit yakin bahwa pangeran beriris biru terang itu mungkin sedang sakit. "Kecapekan mungkin," balasnya asal.

"Gue salut sama Prince Davin," ujar Nana dengan senyum mengembang di bibir bergincu merah mudanya "Di saat anak-anak Indonesia terobsesi kuliah di luar negeri, dia milih kuliah di sini. Seorang pangeran kuliah di Indo, Din! Bangga banget nggak, sih, bisa sekampus sama dia?"

"Biasa aja," sahut Radinka lalu membalik sendok dan garpu menghadap bawah. "Bukan kita yang bangga karena sekampus sama dia, tapi harusnya dia yang bangga sekampus sama kita. Kan, kita duluan yang kuliah di sini."

Nana menghela napas pelan sambil mengunyah. Setelah menelannya, ia bertanya dengan tatapan sedikit tajam. "Lo kenapa, sih, kelihatan nggak suka banget sama Prince Davin?"

Arsonphile [TAMAT] Sudah TerbitWhere stories live. Discover now