Chapter 2

7.4K 795 27
                                    

"Donghyuck-ah, kau buru-buru begitu mau ke mana?"

Yang ditanya menoleh sekilas. Bukannya menjawab, Donghyuck malah semakin mempercepat langkahnya.

"Hei, tunggu!"

Mark menghentikan langkah pria itu dengan mencekal sebelah lengannya. "Astaga. Bisakah kau tidak lari saat aku ingin bicara denganmu?"

Donghyuck segera menepis tangan yang bertengger di lengannya. Ia menampilkan raut muka datar. "Tidak akan kulakukan untuk bajingan sepertimu."

"Kumohon ... bicaralah denganku sebentar saja. Aku perlu menjelaskan beberapa hal padamu." Mark kembali menggapai tangan Donghyuck, tetapi tentu saja ditampik.

"Tidak!"

Namun, Mark tetap bersikeras. "Donghyuck-"

"Aku juga sudah memaafkanmu, jadi, kau tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi padaku. Cukup sampai di sini saja, mengerti?"

"Tapi-"

"Permisi."

Bagi Mark, tidak cukup dengan penerimaan maaf saja, sebab ia merasa bersalah atas kejadian malam itu dan harus meluruskan semuanya. Demi cintanya. Bagaimanapun, pasti Donghyuck sudah termakan oleh gosip murahan yang tersebar di kampus. Dan kalaupun hubungan mereka harus berakhir, Mark tidak ingin dengan kesalahpahaman. Setidaknya, biarkan ia untuk menjelaskan terlebih dahulu.

Di sisi Donghyuck, setelah ia meninggalkan Mark di koridor tadi, dengan perasaan kesal ia masuk ke mobil. Pikirannya kalut hingga beberapa menit ia habiskan untuk menenangkan diri.

Donghyuck meremas rambutnya. Rasa sesal terus berpusar dalam benaknya, membuat ia sesak kala menghirup udara. Apa yang dilakukan Mark padanya malam itu sungguh keterlaluan. Maka ia semakin dibenci, lagi dan lagi.

Dering ponsel di saku kemeja mengejutkannya. Nama Murid Tengil muncul di sana, meneleponnya.

"Ssaem, kau sudah di mana?"

"Aku sudah di jalan. Sepuluh menit lagi akan sampai." Sambil menjawab, ia segera melajukan mobilnya keluar dari area kampus.

"Lama sekali. Aku sudah kepanasan menunggumu di parkiran."

"Kau cerewet sekali."

"Aku tidak cerewet!"

"Ya, ya, kau tidak." Donghyuck memutar setir ke kanan sembari terus memerhatikan kendaraan-kendaraan yang lewat di sebelahnya.

"Menunggulah di tempat teduh. Kau bukan bocah yang harus diberi tahu dulu, 'kan?"

"Ish, aku berkata begitu supaya kau cepat sampai! Seharusnya kau mengerti, Ssaem."

"Kau seperti perempuan saja," celetuknya.

"Apa?!"

"Tidak," tandas Donghyuck. "Sudah, aku matikan dulu."

Hari ini, Tuan Huang menyuruh Donghyuck untuk menjemput anaknya di sekolah, sebab khawatir remaja itu akan melewatkan bimbingan belajarnya. Renjun sudah sering membolos-omong-omong. Seolah penyitaan sepeda motor belum cukup, mulai hari ini dan sesuai jadwal mengajar seterusnya Renjun akan dijemput oleh Donghyuck.

Begitu tiba di pelataran sekolah, ia langsung menemukan Renjun yang sedang duduk di bawah pohon, bersama dua kaleng minuman cola.

Donghyuck berhenti tepat di depannya.

"Ah, akhirnya sopirku datang juga!" Dengan nada mengejek, Renjun berseru demikian.

Ia kemudian membuka pintu penumpang di sisi Donghyuck. Namun, belum sampai ia duduk, pemuda Lee melarangnya.

"Jangan duduk di depan, kau duduk di belakang."

Renjun bertanya heran, "Maksudmu?"

"Ya, duduk di belakang," balas Donghyuck. "Kursi ini terlalu berharga untuk kau duduki. Hanya orang-orang tertentu yang boleh melakukannya."

Mata Renjun melotot tidak terima. Maka, bersungut-sungut ia duduk di kursi belakang. Sebelumnya membanting pintu dengan keras, itu sebagai bukti bahwa ia tersinggung dengan ucapan gurunya.

"Sial, aku dikecualikan."



---




Dua jam belajar, Renjun merasa kepalanya akan meledak. Selalu saja matematika adalah penyebabnya. Atau, kali ini Lee Donghyuck menjadi tersangka utamanya. Pria itu sering mengancamnya, sedikit-sedikit ini, sedikit-sedikit itu. Halah! Kalau bukan karena ia masih sayang dengan komputernya, Renjun ingin sekali bersikap kurang ajar terhadap pria itu.

Menyebalkan!

"Ssaem, aku ingin memukulmu," ujarnya tiba-tiba.

Donghyuck menoleh kaget. "Apa aku melakukan kesalahan?"

Kau bernapas saja sudah salah, batin Renjun. Akan tetapi, ia menggeleng.

"Aku hanya kesal denganmu. Aku muak berada di dekatmu. Aku lelah dengan bimbingan belajarmu," balasnya tanpa ragu. "Ssaem, apa yang harus kulakukan supaya kau mengundurkan diri?"

"Kau ingin aku berhenti menjadi gurumu?"

"Ya."

"Bisa saja, tapi saat kontrak kita berakhir." Ia mengelus kepala Renjun pelan-pelan. "Bersabarlah, Nak, satu semester yang kita habiskan tidak lama akan berakhir."

Lagi-lagi mendengar sebutan itu. Sebutan yang membuat Renjun merasa kecil. Terlanjur kesal, ia mengubah topik pembicaraan.

"Ssaem, sudah berapa kali kukatakan, jangan panggil aku 'Nak' lagi! Itu membuatku seperti anak kecil, sedangkan usia kita tidak berbeda jauh."

Donghyuck terkekeh. "Lalu, kau ingin kupanggil apa? Bayi rubah, murid tengil, atau ... sayang?"

Tangan Renjun mengepal. "Kau benar-benar ingin kupukul, ya!"

"Hei, aku bercanda!" Donghyuck mendorong kepala Renjun menggunakan jari telunjuk. "Jadi, kau ingin kita berteman biasa? Tidak apa kalau kau ingin memanggilku 'Hyung' dan aku akan memanggilmu Renjunie. Bagaimana?"

Tubuh Renjun menggeliat mendengarnya. Itu sangat menggelikan!

"Ew, tidak mau! Kau panggil aku dengan nama biasa saja. Dan untuk memanggilmu 'Hyung', akan kupikirkan lagi kalau kita sudah benar-benar akrab. Mengerti?"

Donghyuck kembali terkekeh. "Kau sangat cerewet, ya ... Renjunie."

Kali ini tubuhnya merespons berkebalikan. Renjun terhenyak. Perasaan hangat bercampur geli merambat dalam benaknya, dan ... itu sedikit menyenangkan mendengar namanya disebut dengan manis oleh pria bernama Lee Donghyuck.












Weird Teacher | HyuckrenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora