RESTART ; paras-paras yang kita ingat

71 15 2
                                    

1.8k words.

———

Akaashi Keiji merasa dirinya terlalu banyak membaca cerita fantasi. Pekerjaannya sebagai penyunting di sebuah studio manga membuat pria itu sering tenggelam dalam tumpukan kertas sampai fajar, tertidur dua jam sebelum jam kerjanya dimulai, lantas datang dengan sekaleng kopi dan kacamata yang tergantung kelewat rendah.

Sialnya, di waktu-waktu langka dia bisa terlelap, berbagai manga fantasi yang ia baca tetap menghantui—terutama yang memiliki tema reinkarnasi dengan pakaian ala-ala era lawas. Sialnya, mimpi-mimpi itu terasa nyata sekali-tiap kali ia berlari di padang rumput hijau tanpa alas kaki, rasanya seperti tanah basah menggelitik telapak dan angin dari timur meniup helai rambut, tiap kali ia masuk ke wisma kayu yang disebutnya rumah, aroma mahogani bercampur udon ikut menusuk-nusuk penciumannya.

Termasuk bau mirip besi yang akhir-akhir ini membuat Akaashi terbangun dengan keringat dan napas tersengal-sengal. Tangannya gemetar saat ia mengusap muka sekali. Sial. Masih jam tiga pagi.

Pria itu beranjak, meraih gelas kesukaannya dan menuangkan satu kemasan kopi instan 3-in-1 ke dalamnya. Ia tidak terlalu menyukai yang satu itu, sebenarnya, ia kira rasanya terlalu manis. Namun, ditemani segelas kopi sambil melamun lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Tidak bisa tidur?"

Akaashi berbalik, setengah tidak peduli jika ada yang membobol kamarnya pagi buta begini.

"Sebelah sini."

Matanya teralih ke jendela. Oh. Kamu. Gadis yang biasa ia lihat di pagi buta yang sama ketika ia menempuh malam tanpa tidur lainnya. Kamu sedang menyandarkan sebelah tubuh ke pinggir jendela, menatap laki-laki yang memegang gelas berisi kopi itu lewat sesapan dari cangkirmu sendiri-bermodel beruang, hadiah dari temanmu enam tahun lalu.

Akaashi tidak bisa melihat parasmu dengan jelas, akibat kamar kalian yang sama-sama gelap dan penerangan yang hanya berasal dari lampu jalan tiga lantai di bawah, tapi dia bisa mengira-ngira kalau helaian agak panjang yang teruntai itu rambutmu.

"Mhm," gumamnya, tanda setuju.

Kamu memandangnya dengan senyum tipis. "Mau menemaniku sebentar?"

Akaashi melirik jam digital di sebelah tempat tidurnya, masih lama sebelum ia harus pergi. "Boleh."

Meski kepalanya agak pening, pria dengan rambut hitam itu membetulkan kacamatanya agar bisa melihatmu lebih jelas, sedikit berharap pada matahari untuk terbit lebih awal karena dia ingin tahu efek pendar kuning hangat di wajahmu.

Tapi, untuk sekarang, Akaashi akan mengingat baik-baik suaramu saat kamu bercerita tentang pameran seni yang diadakan di pusat kota, dan bagaimana kamu ingin mampir ke sana, atau tentang kucing jalanan yang sering muncul di kantin kampusmu lalu merampas jatah kentang goreng dengan wajah sok polos, dan tentang teman satu projekmu yang tidak bisa diatur.

Kamu sempat berhenti, lantas meletakkan cangkir di meja, menanyakan tentang kehidupan cowok itu sebagai gantinya. Akaashi tidak bercerita banyak, selain kegemarannya pada sastra dan sedikit sejarah masa SMA.

Kalau ditanya, sang pria tidak mengerti apa yang membuatmu sukarela menceritakan semua ini ke orang asing. Kalian tidak pernah bicara sebelumnya, hanya senyum kecil setengah lelah yang ditukar tiap beberapa malam sekali, tatapan dari ujung mata di malam-malam yang lain.

Namun, tatkala netra biru tua itu menyapu figurmu, dia merasa kalau kamu sedikit lebih familiar daripada cuma perempuan dari gedung seberang. Piyama dengan warna yang sudah hampir pudar, suara bagai bisikan angin malam-

RESTART ─ akaashi keiji [✔]Where stories live. Discover now