[Chapter 1] Rencana.

284 51 34
                                    

(!) Disarankan menggunakan mode hitam saat membaca.




























"Jangan menangisi seseorang yang menyakitimu, tak ada gunanya"

Seorang pemuda bersurai hitam dengan lekukan wajah yang berulung bagai khas orang Barat.

Hueningkai.

Begitu nama seorang pemuda yang sedang merengkuh satu gadis—teman dekatnya.

Pemuda mengelus punggung yang bergetar samar, hatinya renyuh ikut tersayat perih, merasakan apa yang baru usai gadis itu alami.

"T-tapi kenapa harus Beomgyu? Kenapa dia seperti almarhum Ayah?"

"Tandanya Beomgyu bukan yang terbaik untukmu"

Hueningkai menghela nafas kasar, merasa jengah mendengar semua rintihan pedih yang belum tamat tereda.

Hari sudah mulai gelap, sejak Eunbin datang dengan membawa tangis tadi sore kerumahnya. Hueningkai tampak tak tenang.

"A-aku sayang Beomgyu, tapi dia membuatku kecewa."

Eunbin menggaruk kedua matanya yang memerah, mengulang kata demi kata yang semula sama sejak tadi ia muncul di depan rumah.

"Lupakan dia, agar kamu lebih tenang."

Hueningkai mengambil segelas air putih di atas meja sampingnya, perlahan mendekatkan gelas tersebut kepada Eunbin.

Gadis itu menerima gerakan lembut dari Hueningkai, meneguk beberapa bulir air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Apa semudah itu? Aku sudah terlalu sayang pada Beomgyu."

Tidak lagi, Eunbin sudah mengatakannya keribuan kali.

Hueningkai memejamkan matanya beberapa saat untuk menahan rasa sakit, entah kapan teman dekatnya ini menyadari.

Aku juga sudah terlalu sayang padamu, Eunbin.

"Semuanya akan mudah jika dilakukan bersama, sudah berapa kali aku bilang seperti itu? Dasar pelupa."

Hueningkai terkekeh paksa, menghiraukan perasaannya yang masih sakit, kian memanas.

Setidaknya Hueningkai mencegah agar gadis yang ia cintai tidak mengatakan kata sayang kepada pemuda lain secara berulang.

Hueningkai sigap mengambil alih gelas yang Eunbin genggam untuk disimpan kembali ke atas meja, dirasa beberapa detik Eunbin belum menjawab.

"Tidak, aku tidak lupa." Eunbin menggeleng.

Perlahan gadis itu meredai isakan pedih, saat mendengar tawa kecil Hueningkai yang dirasa menjengkelkan.

"Aku tidak percaya, mana mungkin seorang Eunbin selalu ingat akan sesuatu? Itu tak mungkin."

Balas Hueningkai disengaja, biar Eunbin terhibur dulu akan ucapannya. Sangat sakit memang, tapi Hueningkai puas dan akan selalu begitu.

Memamerkan seringai indah untuk menutupi jatuhnya asmara kedalam jurang penyiksaan tegar.

Hiraukan saja.

Lagipula naluri bukan suatu kebutuhan, jadi tidak apa jika tidak di ikuti kemauannya meskipun efeknya akan gelisah nanti.

Tugas Hueningkai hanya satu, mengukir senyuman Eunbin kembali di tengah kejenuhan hidupnya.

Tidak ada yang lain.

Dan untuk kali ini berjalan dengan lancar, ia kembali melihat Eunbin yang tersenyum meskipun tipis yang semula menangis tersedu-sedu.

"Mungkin saja, aku tidak pernah lupa denganmu."

ABNORMAL BROTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang