"Boleh tuh, Yang. Juragan besi di deket rumah nenekku udah kaya sekarang."

"Jadi ini jadi itu, entar gue jadi yutuber aja nih lama-lama." Haris menjawab dengan nada kesal, gemas sendiri. Setelah beberapa saat, ia sudah beralih menatap Ivory dengan tertarik. "Lo ... hapal semua unsur-unsur tabel periodik ya, Vo?"

Ivory tidak langsung menjawab karena tiba-tiba semua orang di meja itu menatapnya penasaran, menunggu. Kemudian perempuan itu mengangguk pelan hanya mengangguk pelan.

"Hm, coba gue tes. Sebutin namanya aja. Sebentar." Haris buru-buru mengeluarkan ponsel. Mengetik dengan cepat di mesin pencari. Kemudian ia mencondongkan sedikit tubuhnya, wajahnya terlihat lebih bersemangat seperti seorang pembawa acara yang hendak membacakan soal bernilai satu miliar rupiah. "Rn."

"Radon."

"Au."

"Emas."

"Cd."

"Kadmium."

"Bh."

Semua orang tertawa, menginterupsi jawab cepat yang sedang dilakukan Haris dan Ivory.

"Bohrium."

Mulut Haris terbuka setengah seolah menghafal semua unsur-unsur kimia adalah hal mustahil. "Kok bisa hapal?"

"Dihapalin, Kak. Kalo saya dulu ngapalinnya pakek flashcard."

"Flashcard yang biasanya untuk anak kecil gitu?"

Ivory mengangguk cepat.

"Iya juga ya. Kok gue nggak pernah kepikiran ngapalin pakek flashcard." Haris bergumam.

"Coba kita satu angkatan ya, Vo. Bisa jadi anak pinter gue kalo temenan sama lo dari dulu. Nggak bakal kayak gini."

Ivory tidak tahu harus merespons seperti apa pernyataan Dela yang lebih terdengar penuh penyesalan tersebut. Tidak pula begitu mengerti apa maksudnya. Bahkan raut wajah kakak kelasnya itu sudah berubah muram. Seolah-olah ia baru saja kehilangan masa depan.

"Sebentar lagi UTS, kan? Lo fokus belajar aja, Vo. Biar mereka gue yang urus." Aqil yang sedari tadi memperhatikan itu buru-buru mengalihkan pembicaraan sebelum suasana berubah aneh. Seakan-akan mengerti kekhawatiran yang mulai menyusupi pikiran teman-temannya.

"Halah, pencitraan." Haris mencibir. "Bilang aja, aww ...." Haris mengaduh kuat, sambil memegangi kakinya yang baru saja diinjak Aqil yang sudah mengunyah makanannya dengan santai.

Pembicaraan di meja tersebut sudah beralih lagi. Dengan tawa dan ejekan yang masih terselip sesekali. Tidak sekali pun dari mereka yang menyebutkan nama Silver atau pun membahas masalah yang terjadi pada Ivory seolah sudah mereka sepakati.

Hingga, Ivory sudah menghabiskan makan siangnya. Segera ia memeriksa jam di ponsel. Tinggal dua menit sebelum bel masuk berbunyi. Buru-buru ia berdiri. Pamit pergi ke kelas lebih dulu. Baru beberapa langkah, Dela sudah menyejajari langkahnya. Menahan lengannya.

"Vo, thanks udah bantuin kita belajar selama ini. Gue beneran udah anggep lo kayak adek gue sendiri, kayak kawan gue. Jadi, kalo ada apa-apa, lo bisa cerita. Jangan dipendem sendiri. Oke?" Dela menepuk-nepuk lengan Ivory, tersenyum tulus sebelum akhirnya berbalik pergi.

Ivory yang sedang menguatkan diri sendiri, karena Diko, karena pertemuanya dengan Silver tadi, mengangguk samar. Sekarang ia benar-benar yakin semuanya akan baik-baik saja.

Benar.

Semua memang berjalan baik-baik saja.

Hingga kemudian, tepat dua hari sebelum UTS, tiada angin, tiada hujan, badai itu datang menghancurkan Ivory. Atau justru, membuatnya semakin kuat.

IVORY (SELESAI)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ