#. Kehadiran disaat redup

155 22 3
                                    

Malam ini bumi tengah diterpa hujan deras, seluruh permukaan jalanan dan atap-atap rumah basah kuyup tanpa kecuali. Suara gemuruh bahkan tak berhenti sejak tadi. Tubuh Sanu bahkan tersentak karena terkejut. Sembari menunggu bulir air menjadi rintik-rintik, ia berteduh di halaman kedai kue. 

"Kau ingin berdiri disana sampai kapan?" Mata Sanu mendelik, pintu kedai yang semula rapat kini menampakkan sesosok Baswara yang berpakaian santai.

"Ada yang sedang berulang tahun? atau mungkin kau sendiri?"

Baswara menggeleng, manik matanya melirik ke arah kedai yang bermaksud untuk memastikan pernyataannya pada Sanu. "Ini kedai orang tuaku, kami tinggal di lantai dua"

Sanu menarik nafas dalam-dalam, bahu yang semula bungkuk kini telah tegak berwibawa. Pancaran matanya pun seolah sudah siap bertanding dengan makanan, "Berikan aku kue yang di diskon, ya? kau kan tahu sendiri, kebutuhanku sangat melimpah ruah"

"Memangnya berapa banyak bunga yang kau beli?"

Sanu mencibirkan bibirnya, dirasa bahwa pertanyaan yang dilontarkan Baswara sama sekali tidak berkaitan dengannya, "Untuk apa aku membeli bunga? memetiknya saja bisa dihitung jari"

"Lalu mengapa kau seindah ini?" Baswara menyahut, sudut matanya mulai berkerut karena senyuman lebarnya yang naik ke permukaan.

"Karena tertular darimu mungkin?"

Baswara menarik lengan Sanu untuk masuk kedalam kedainya, penampakkan yang sangat sederhana namun sangat menyilaukan seperti parasnya. Cahaya remang-remang, lengkap dengan kilatan petir menyambar dari balik jendela besar.

"Kapan hujan akan berhenti?"

Pertanyaan bodoh yang Sanu lontarkan kini membuat Baswara mengernyitkan dahinya, "Kau tanya saja pada tuhan"

"Kalau aku bertemu tuhan, tandanya kita berpisah, dong?"

"Aku akan tetap bisa melihatmu lewat bintang"

Sanu tersenyum kecil, ungkapan yang Baswara berikan cukup membuat pikirannya menghangat. Atau mungkin lebih tepat di sumber kehidupannya, jantung hati.

Wewangian kue dan roti kini menyeruak di Indra penciuman keduanya, kalau boleh Sanu ingin bau tubuhnya menyerupai bau roti yang baru dikeluarkan dari pemanggang. Jika memang iya, mungkin tubuhnya sudah habis ia gigiti.

Baswara masih tidak memalingkan manik matanya yang bulat, sosok Sanu benar-benar lebih enak dipandang dibanding hamparan kue besar yang sudah selesai dihias. Baginya Sanu adalah keindahan terbesar yang sudah semesta percikkan di bumi yang mulai temaram. Temaram bagi banyak orang yang relatif tidak memiliki pegangan lain di hidupnya untuk berbagi cerita pendek maupun panjang.

Mungkin Baswara akan menghabiskan hidupnya untuk menulis berlembar-lembar kertas tentang betapa indahnya Sanu. Bahkan sebaliknya, Sanu akan mengukirnya diatas batu maupun kayu. Kalau bisa diatas kanvas bersejarah.

"Katanya kau ingin makan kue?" Baswara membuka suara pertama.

"Tapi berikan aku diskonan ya? tidak perlu lagi kan aku mengulang kalimat yang tadi?"

Baswara bangkit dan melangkahkan kakinya, membuka kulkas besar yang penuh dengan kue ulang tahun. Padahal maksud Sanu ia hanya ingin kue kecil bukan sebesar yang sekarang sudah dibawa Baswara.

"Kau tidak perlu bersedekah sebanyak ini padaku, aku tidak bisa membayarnya meskipun sudah diberikan diskon tau!"

Tawa kecil Baswara mengaungi ruangan kedai, pengunjung hanya ada beberapa dan untungnya mereka mengambil tempat duduk di paling depan. Karena tidak ingin membuat kakinya pegal karena berjalan mondar-mandir dari kursi bagian belakang ke depan. Yah meskipun jaraknya terbilang cukup dekat.

"Memangnya aku bilang kalau kau harus membayarnya?"

Sanu menunduk, memperhatikan kue yang sangat menggugah seleranya, bahkan sebelum ia menyantapnya, rasa cream yang manis sudah sangat bercampur aduk dengan lidahnya yang hambar.

"Orang tuamu hebat bisa membuat banyak kue cantik seperti ini, aku sangat kagum"

"Saat mereka membuatnya, sesekali aku sembari menceritakanmu"

Sanu memberhentikan garpunya saat sesuap kue itu sebentar lagi akan masuk kedalam mulutnya, "Kau sesuka itu ya mengumbar aib orang lain?"

"Tidak ku sangka kau akan menjawabnya dengan jawaban begini, seharusnya kau menjawab dengan lebih percaya diri dong!" Baswara geram akan tingkah serius yang kerap Sanu lontarkan. Pasalnya ia tidak bisa lagi melanjutkan godaan yang dirasa lucu.

"Untuk apa aku percaya diri? toh kau sudah sangat memuja ku"

Baswara menyesali perkataannya, jawaban yang ia dapatkan sekarang adalah kelewat percaya diri.

Hujan yang semula deras kini sudah tergantikan menjadi rintik-rintik, sebuah pelangi membuat seisi kedai memalingkan pandangan dari dinding maupun lawan bicaranya. Sampai-sampai diabadikan menjadi sebuah foto yang cantik.

"Bara lihat ada pelangi! ayo kita melihatnya lebih dekat" Sanu berteriak histeris seperti anak berumur lima tahun yang baru melihat garis berwarna itu.

Baswara mengangguk, lalu menarik lagi lengan Sanu untuk dibawa ke luar kedai, "Baiklah silahkan kau gapai" lanjutnya saat keduanya sudah membelakangi pintu kedai.

"Kalau aku bisa pun sudah ku makan sejak kemarin"

"Kira-kira bagaimana ya rasa pelangi?"

Baswara memijat keningnya dengan amat keras, anak kecil pun tidak pernah bersih keras untuk mencoba memakan garis bercahaya itu. Memang dari awal Sanu sangat bodoh pasal hal-hal yang indah.

Sama seperti dirinya sendiri saat melihat Sanu.

"Sanu, apa kau ingin mencoba hal yang seru?"

Yang dipanggil kini menolehkan wajahnya, sejenak tampak berpikir, "Memangnya kau punya ide menarik apa? aku tidak ingin menerima ide yang sudah biasa"

"Main kembang api"

"Kembang api? baiklah ayo! sudah puluhan tahun aku tidak bermain kembang api"

Tidak bisa dihitung lagi, Baswara bahkan sudah memijat keningnya lagi dan lagi, "Bukankah kau bilang tidak menerima ideku yang biasa-biasa saja?"

"Tidak akan terasa biasa saja jika melakukannya bersamamu"

Warna wajah Baswara kini berubah, bahkan Sanu yang lupa untuk mengontrol ucapannya kini harus dibuat malu.

Masing-masing dari mereka sudah memegang kembang api yang sudah nyala percikannya karena api yang berasal dari lilin.

"Ini benar-benar sangat menyenangkan"

Baswara melempar senyum tak kalah lebar saat memandang Sanu yang tampak kegirangan hanya karena kembang api yang diputar-putarkan di tangannya.

"Sanu aku punya satu permintaan untukmu"

Sanu melirik lalu mengulum senyum kecilnya, "Permintaan apa?"

Dilanjutkan dengan Baswara yang melirik dinding putih kosong di seberangnya, "Lukis sesuatu disana"

Tanpa berpikir dua kali Sanu mulai mengeluarkan cat air dan kuas dari dalam tas ransel kecilnya.

Tanpa berpikir dua kali Sanu mulai mengeluarkan cat air dan kuas dari dalam tas ransel kecilnya

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

[Fanart from Pinterest]

"Kapanpun kau bisa melihatku, meskipun nantinya salah seorang dari kita akan sulit untuk bersua"

Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Aug 17, 2021 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

Lajur SanubaraOù les histoires vivent. Découvrez maintenant