Yuta memandangi Mei dengan seksama.

"Bagaimana dengan Jae?"

Mei langsung memberikan tatapan membunuhnya.

"Kau! Sudah kubilang jangan sebut nama itu!"

Yuta terkekeh puas, "Kenapa? Kau masih dendam, ya? Tidak baik menaruh dendam, walaupun dia mantanmu,"

"Diam kau, tuan Nakamoto yang terhormat. Aku tidak ingin mendengar nama itu,"

"Baiklah, tidak lagi." Yuta bangkit, ia meraih dompet dan kunci mobilnya. "Mei," panggilnya lagi.

Mei menatap Yuta heran, "Apa lagi? Konsultasimu sudah selesai."

"Kau ada pemeriksaan lagi setelah ini?"

Mei tampak berpikir, kemudian menggeleng. "Tidak, kenapa?"

"Mau makan malam denganku?"

...

Yuta menatap heran Yuna yang sedang tampak sibuk menyeret sebuah kardus berukuran sedang.

Gadis itu tampak kesusahan mendorong kardus itu.

"Ya ampun, berat sekali, ini beratnya berapa kilo?" terdengar gumaman kecil disela kekuatan penuh yang Yuna kerahkan.

Hingga sudah mencapai titik tujuan, Yuna meghela nafas lega, bahkan gadis itu tampak sibuk merenggangkan punggungnya.

Sementara Yuta, ia masih setia berdiri diambang pintu kamar menyaksikan kesibukan istrinya itu.

Yuta berdehem pelan, sengaja agar Yuna menyadari kedatangannya.

Benar saja, gadis itu langsung berbalik dan sedikit kelabakan karena terkejut.

"Ah! Nakamoto-san, kau sudah pulang?"

Yuta tidak menjawab lagi, seperti biasa. Ia langsung berjalan ke arah lemari untuk meletkkan tasnya.

"Sudah makan malam?" tanya Yuna lagi.

Kali ini Yuta mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Baiklah, kebetulan aku belum memasak. Oh iya, Nakamoto-san!"

Yuta menoleh, memberikan Yuna tatapan 'ada apa?'

Yuna menunjuk meja putih yang tampak baru terpajang manis dipojok kamar.

"Aku memasang meja disitu, boleh?"

"Terserah saja," jawab Yuta acuh tak acuh.

Yuna tersenyum saja, kemudian ia dengan semangat membongkar kardus yang tadi dengan susah payah dibawanya.

"Ini sudah semuanya, kan?"

"Aku harap tidak ada yang ketinggalan,"

"Aku masih harus membeli beberapa untuk referensi,"

Yuna yang terus bergumam tidak jelas, membuat Yuta tidak tahan untuk bersikap seolah tidak peduli.

Yuta menghampiri Yuna yang masih asik berjongkok sibuk berbicara dengan kardusnya itu.

"Apa itu?"

Yuna mendongak, "Oh ini? Ini buku," jawab Yuna dengan polosnya.

"Maksudku buku apa?" tanya Yuta lagi dengan gusar, bagi Yuta, bertanya pertanyaan yang sama dua kali itu merupakan sebuah beban yang sangat membutuhkan effort  lebih untuk melakukannya.

Yuna tersenyum lagi, "Bukuku, beberapa ada buku referensi, tapi yang tiga ini, ini buku aku yang menulisnya."

"Kau menulis buku?"

Yuna mengangguk semangat. "Iya, tapi sudah lama, terakhir aku menerbitkan buku kalau tidak salah tahun ketiga aku kuliah," jelasnya.

Yuta mengambil salah satu buku dengan sampul berwarna biru dengan gambar kedua tangan yang terpisah.

The Truth Inside Me.

Yuna yang melihat Yuta ingin membuka buku itu langsung merebutnya.

"J-jangan!"

Yuta menaikkan sebelah alisnya melihat reaksi Yuna yang seperti itu.

"J-jangan yang ini."

"Apa? Kau menulis cerita dewasa, ya?" tanya Yuta, entah bercanda atau tidak, tapi wajahnya tidak menunjukan kalau ia sedang bercanda.

Yuna menggeleng cepat, "Tidak! Aku tidak menulis hal seperti itu, kok!"

"Genre apa yang kau tulis?"

"Fiksi romansa remaja, biasa saja kok."

Yuta hanya berdehem menanggapinya. Kemudian, pandangannya kembali teralih pada sebuah buku kecil berwarna biru.

Buku itu tampak berbeda karena ada hiasan gantungan berbentuk kunci disampulnya.

"Apa ini-"

"JANGAN!!"

Yuta cukup terkejut karena Yuna yang hampir berteriak itu. Yuta menatap tangannya yang sudah kosong.

Yuna merebut buku itu lagi.

"I-ini buku harianku, jangan membacanya," ucap Yuna pelan.

Walaupun sebenarnya ia cukup keheranan, tapi Yuta memilih mengangguk saja, seolah tidak begitu tertarik.

"Ya, ya. Baiklah,"

...

Yuta sibuk memainkan ponselnya sambil duduk bersandar disofa.

Sesekali ia melirik Yuna yang masih tampak sibuk menyusun buku-bukunya di meja yang baru dibelinya itu.

Mungkin gadis itu ingin melanjutkan hobinya, entahlah.

Yuna yang bertepuk tangan kecil membuat Yuta penasaran.

Melihat senyum lega gadis itu, ia dapat mengetahui kalau istrinya itu sudah menyelesaikan kegiatannya.

"Aku akan mandi,"

Yuna berjalan menuju kamar mandi, dan saat itulah Yuta melirik sebuah buku kecil yang tadi direbut Yuna masih tergeletak manis diatas meja putih itu.

"Heh, dia itu ceroboh atau bagaimana? Sesuatu yang dirahasiakan tapi diletakkan disitu,"

Yuta berjalan menuju meja Yuna, bagaimanapun, ia juga tidak bisa menampik kalau ia penasaran karena reaksi Yuna yang seperti itu.

Yuta dengan hati-hati mendekati buku kecil itu.

Ia menyipitkan matanya, disampulnya ada tulisan dengan huruf hiragana dan hangul, yang mempunyai arti sama.

"Jangan membukanya kalau tidak mau jarimu patah!"

"Hanya Choi Yuna yang boleh membuka buku ini,"

"Kunci ini saksinya!"

Yuta tanpa sadar mendengus geli setelah membaca tulisan-tulisan itu.

Yuta melirik sekilas pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Kemudian atensinya kembali tertuju penuh pada buku kecil yang berhasil membuatnya penasaran itu.

"Mari kita lihat, apakah jariku akan patah setelah membukanya?"

1

2

dan..

"Nakamoto-san? Sedang apa?"

To Be Continued.

Jangan lupa vote + comment! Biar author makin semangat xixi

Ilysm!

Thankyou

and

See You

-vioneee12












































Let Me Be Your Healer, Mr. Nakamoto! | NAKAMOTO YUTA (Completed)Where stories live. Discover now