Menjadi Perempuan - Kala Lail

78 1 1
                                    


Sesekali Asri menyeka keningnya yang mengkilat. Tangan kirinya sibuk mengusap kaki dengan minyak kayu putih. Benar saja, gerimis semalam lagi-lagi membuat nyamuk pindah ke tempat kering. Kaki dan tangan Asri mulai memerah di beberapa tempat.

Siang itu rambutnya kusut masai. Matanya lamur. Cekungan hitam di bawah matanya semakin kentara. Ia termangu di kursi teras, berdo'a agar Fatma dan Ardi tidur pulas. Menghantarkan mereka berdua tidur siang bukan perkara mudah. Asri menumpukan dagu di atas dengkul kiri sembari mengusap kedua kakinya perlahan. Seperti ragu dengan keadaan.

Tujuh tahun lalu Asri masih gadis desa. Anak petani singkong dengan sejuta mimpi. Ia nekat pamit mengadu nasib ke kota berbekal ijasah diploma.

"Gunanya sekolah itu buat apa to, Mak? Pergi pagi, duduk di kelas selama belasan tahun untuk apa to, Pak? Uang-uang yang sudah bapak habiskan gunanya buat apa? Ijasah-ijasah yang Asri kumpulkan mau dipajang di rumah? Tiap pagi pergi ke sawah atau momong anak di rumah sampai tua? Terus apa gunanya sekolah bertahun-tahun? Baca tulis aja kan udah cukup, Pak"

Kalimat itu masih menggantung di kepala Asri. Hampir 7 tahun tapi masih berasa di ujung lidah. Saat itu Asri disarankan untuk lekas menikah saja selepas SMA sama seperti teman perempuan seumuran lainnya. Namun Asri menolaknya mentah-mentah.

Tak seorang pun mampu menandingi kecerdasan Asri di kampung. Teman sebayanya pun gamang berteman dengan Asri. Selain langganan ranking satu, ia juga dikenal sebagai kembang desa. Gadis paling ayu dan bersih sekelurahan. Teman perempuan lain selepas pulang sekolah sibuk momong adik-adik mereka atau pergi ke ladang membawakan makan untuk bapaknya atau membantu panen singkong atau duduk di teras membuat keranjang ikan bandeng dari anyaman bambu atau pekerjaan lain yang selalu Asri hindari. Asri lebih memilih menjadi seorang putri di rumahnya. Berteduh menghindari panas matahari. Sibuk dengan buku di kamar.

Sesampainya di Jakarta, ia melamar puluhan perusahaan dan ditolak puluhan kali juga. Belum genap sebulan uangnya habis untuk naik kereta, makan dan bayar kos. Akhirnya ia terpaksa kerja di rumah makan.

"Ijasah diploma itu di sini gak ada gunanya." Kata ibu pemilik warung saat menerimanya kerja.

"Kalau tak punya keahlian, kerja seadanya saja. Ada ribuan orang yang punya ijasah sarjana lontang-lantung dan ngutang makan di sini. Sekarang ijasah itu tak penting. Yang penting punya keahlian. Hla masak saja kamu gak bisa, nekat ke Jakarta." Imbuh ibu pemilik warung.

Asri memang tidak pernah masak di rumah. Tujuannya belajar siang malam memang supaya bisa hidup nyaman saat dewasa. Tujuannya ke kota bukan cuci piring dan masak. Ia pengen kerja di kantor, beli rumah atau apartemen lalu sewa pembantu. Tak perlulah repot masak dan mencuci. Kerja kerasnya belajar belasan tahun harusnya terbayar dan bisa dinikmati.

Beberapa bulan bekerja di warung makan, Asri tak pernah mengabari orang tuanya di kampung. Ia malu dengan pekerjaannya. Tapi saat bulan puasa, ia terpaksa menelepon adiknya di kampung. Ia sakit tifus dan di kos sendirian. Katanya ia jarang sahur. Di warung juga makan seadanya. Sering makan lauk sisa yang sudah agak basi.

"Jauh-jauh ke kota cuman njaga warung. Pulang aja! Tak bikinin warung di sini!" bentak bapaknya di telepon.

Asri bertekad tak mau pulang sebelum sukses. Pulang di kondisi seperti itu sama saja gagal. Kalah dengan mimpinya sendiri. Ia tak punya cukup wajah tebal untuk dibawa pulang. Menerima uang kiriman dari ibunya saja sudah menghancurkan harga dirinya.

"Bawa ke dokter, Nduk. Jangan ditahan. Kalau ndak mau pulang ya sudah. Tapi nurut sama ibuk. Periksa ke dokter. Minum obat. Istirahat, ndak usah kerja dulu." Ibunya menenangkan.

Lebaran Asri tetap tak pulang mudik. Setelah kesehatannya membaik, ia diajak temannya untuk berbisnis.

"Kerja di warung makan itu buang-buang waktu. Kamu masih muda. Gajimu tidak akan cukup untuk hidup di kota. Memangnya kamu tidak mau beli rumah sendiri. Menikah dan punya anak?" Bujuk Agnes. Teman sebelah kosnya.

Dari Balik Mata PerempuanМесто, где живут истории. Откройте их для себя