Max | Kasus yang Aneh

46 4 6
                                    

Ruhi berjanji untuk mendampingiku menghadiri acara pernikahan Tam. Tetapi sepertinya, perempuan bergigi kawat itu ingkar. Aku sudah menunggunya sedari 30 menit yang lalu.

Dia belum datang dan aku sudah sekarat seperti ikan kering di kafe milik sahabat sekaligus rekan kerjaku, Kiyya; Teman Sepimu ćafé, nama kafenya.

Seolah mengejekku yang akhir-akhir ini sedang kesepian.

"Max, temanmu itu belum datang yah?" Kiyya menghampiriku yang duduk di sudut kafe. Aku mengangguk. Kiyya duduk dihadapanku. Menatapku lamat-lamat. Seolah melakukan scan penampilan padaku.

"Kiyya, kau akan jatuh cinta jika menetapkan terlalu lama," gurauku asal. Perempuan satu anak itu tertawa lepas.

"Suamiku masih lebih tampan darimu, Max," tepisnya.

"Ya, ya, aku tahu," balasku tak mau ambil pusing. "Oh iya, bagaimana kabar Teen saat ini?" Teen adalah nama anaknya.

Senyum Kiyya tercetak, "dia baik dan sudah pandai berjalan." Ada nada bangga dalam ucapannya.

Aku mengangguk. Menoleh ke arah luar dinding kafe yang terbuat dari kaca dan menampilkan langsung pemandangan jalan. "Kuharap Teen sebijaksana ayahnya," candaku. Sebuah pukulan mendarat di lenganku. Aku menengok, mendapati wajah Kiyya yang kesal. Tawaku pecah. "Aku hanya bercanda, jangan dianggap serius."

"Perkataanmu barusan, membenarkan statement-ku tentang kebanyakan lelaki memang suka bercanda." Aku memutar bola mata malas. Kiyya itu overthinking dan aku sempat curiga dengannya yang sepertinya pengabdi paham cocokologi.

Dia menghela napas jengah, "berpikirlah sesukamu."

"Tentu saja, aku akan berpikir sesukaku, Kiyya. Siapa yang akan melarang? Dan sejak kapan ada larangan berpikir?"

"Baiklah sepertinya kita satu server, menyangkut urusan berpikir," ungkapnya menarik piring kotor di mejaku. "Aku duluan, selamat menabung kecewa akibat terlalu percaya dengan janji," lanjutnya sembari mengedipkan sebelah matanya.

"Terima kasih atas motivasinya." Kiyya dan mulutnya itu, benar-benar selalu berhasil menamparku.

Karena bosan menunggu Ruhi, aku menyibukkan diri membuka salah satu aplikasi sosial media; Instagram.

Aku memperhatikan beberapa postingan yang berseliweran di beranda aplikasi yang kini menjadi milik Mark Zuckerberg.

Hingga tanganku berhenti nge-scroll dan menganalisa sebuah artikel tentang kasus pembunuhan berkedok sosmed.

Sebanyak tujuh remaja meregang nyawa di hari yang berbeda secara selang-seling. Diketahui, ada bar code yang tercetak di pipi setiap korban dan setiap korban meninggal dalam keadaan memegang ponselnya dan sedang membuka salah satu aplikasi sosial media; entah itu Instagram, Facebook, ataupun WhatsApp. Yang menjadi misteri adalah bar code masing-masing korban membentuk pola yang aneh. Saat ini kasus ini masih ditindak lanjuti oleh pihak yang berwenang.

Aku terperangah membaca mention postingan itu.

Dan bagaimana itu bisa terjadi? Maksudku, yah aku tahu sosmed seperti, Instagram, Facebook, Twitter, dan sebagainya, kini merangkap jadi tempat melancarkan aksi pembunuhan?

Wah, hebat sekali manusia yang melakukan kekejian ini.

Aku rasa ada yang tidak beres dengan pola bar code itu.

Tiba-tiba seseorang mengetuk mejaku. Rupanya Ruhi, perempuan yang sedari tadi kutunggu.

"Kau lama sekali, Nona Ruhi," sindirku terang-terangan.

Toxic Social MediaWhere stories live. Discover now