Dengan telunjuknya pria itu menuding Rara. "Dan sebagai pimpro, pemegang kekuasaan tertinggi di sini, kamu bisa saja saya pecat saat ini juga, tanpa referensi kerja, hingga kamu di-black list dari dunia konstruksi!" kali ini oria itu sudah pada tahap mengamuk.

Suasana sangat tegang. Rahman berdiri untuk turun tangan. "Dengan segala hormat, Pak Hilmy... dan Rara tentu saja...," dia berusaha melerai adu mulut kedua orang dari dua generasi berbeda ini.

"Biar saya selesaikan sendiri, Pak Rahman!" potong Rara cepat. Kali ini wajah gadis itu benar-benar pucat dan bahunya terlihat tegang dan dan sangat kaku. "Saya hanya ingin mempertanyakan, kenapa hanya saya yang disalahkan untuk perubahan biaya konstruksi ini padahal jelas sekali kalau datanya berasal dari orang lapangan. Kenapa Pak Ermanu sebagai site manager tidak dihadirkan di sini?"

"Kamu itu anak bau kencur!" bentak Pak Hilmy. "Ngapain protes pada cara kerja kami yang sudah senior. Ermanu itu sudah bekerja di proyek bahkan sebelum kamu lepas dari popok!"

"Saya tidak mempermasalahkan siapa senior di sini. Tapi saya akan menyampaikan sikap, bahwa saya menolak mempertanggungjawabkan apapun tanpa kehadiran orang lapangan."

Suasana hening, namun ketegangan semakin meruncing.

"Ini adalah bentuk protes saya," kata Rara tanpa gentar. "Sekarang lebih baik saya keluar dari ruangan ini dan menunggu surat pemecatan saya," lanjutnya.

Tangannya gemetar meskipun dia berusaha sekuat tenaga agar emosinya tidak meledak. Tanpa bicara lagi gadis itu berdiri. Dan dalam sekejap, sosoknya yang ramping sudah pergi meninggalkan ruangan. Meninggalkan keempat pria yang tertegun tidak menyangka ending-nya akan begini.

***

Begitu pintu tertutup di belakang Rara, semua perhatian tertuju pada Pak Hilmy yang terlihat ingin membunuh siapa pun yang mendekat.

"Saya akan meminta sekretaris segera mengajukan pemecatan si kurang ajar itu ke personalia!" geramnya dengan kemarahan menggelora.

"Tapi Pak Hilmy, kita tidak bisa gegabah mencopot Rara sebelum pemeriksaan secara menyeluruh pada hasil kerjanya," Rahman berusaha mendinginkan suasana. "Memecat orang di posisi kunci, di saat pekerjaan sedang on fire begini bukan solusi."

"Halah! Engineer yang jauh lebih kapabel dari dia banyak! Lagipula, siapa yang bisa melawan saya?" katanya dengan menggebrak meja. "Juga tidak akan ada yang berani mengeluarkan saya dari kantor cabang ini. Apalagi oleh kroco-kroco macam kalian. Saya hanya bisa diperintah dari Pak Karnaka Dhanubrata. Camkan itu!" gertaknya sambil berjalan keluar. Kali ini dengan membanting pintu sekeras-kerasnya.

Ketiga pria itu hanya memandang pintu dengan diam. Setelah beberapa saat barulah mereka bisa bernapas lega.

"Gile banget! Ini cabang tiga, pimpro dan kadivnya sama-sama bersumbu pendek dan gampang meledak!" komentar Havez sambil menggeleng-geleng. "Seru dan penuh drama."

"Gimana nggak seru. Isinya orang-orang panasan semua! Jangan-jangan Pak Hilmy, Pak Rahman, dan Rara ini satu almamater. Keras kepalanya sama," komentar Heru kalem.

"Kalau ngomongin gue, cari tempat lain dong, Her!" gerutu Rahman, sambil memijit pelipisnya yang berdenyut-denyut. "Nggak sopan amat, lo!"

"Tapi beneran lho, Pak, saya akui. Baru kali ini nemu cewek kayak Rara ini! Sangarnya cabe level sepuluh!"

Dan Rahman tertawa mendengar kata 'sepuluh' ini. Andai mereka tahu ada apa dengan kata 'sepuluh' ini. Ah, masa-masa itu. Rahman bahkan tak percaya dalam hidupnya yang kelabu, dia pernah mengalami saat-saat manis begitu.

"Gue harus menenangkan Pak Hilmy sebelum beliau teriak-teriak ke Jakarta," Rahman mengembalikan obrolan ke topik utama. Mencegah otaknya melantur ke mana-mana, karena berada di kota ini membuatnya teringat kembali pada berbagai kenangan yang terjadi di sini.

"Pak Rahman nggak merasa perlu menenangkan kadivnya juga?" tanya Havez iseng.

"Termasuk itu juga," balas Rahman lempeng. "Ntar."

Heru dan havez tertawa terbahak-bahak.

"Pak Rahman mah, muka lempeng, tapi action-nya joss. Sini, Ra, duduk di sebelahku aja, jangan di sana," Havez terbahak-bahak menirukan kata-kata Rahman. "Hampir ngakak njengkang gue, denger Pak Rahman ber-aku kamu!"

"Dan dia masih single," sambung Heru.

"Emang kenapa kalau single?" tanya Rahman tak peduli, tetap sibuk dengan gawainya.

"Ya nggak apa-apa. Mungkin nggak ada cowok yang berani deket, kali."

"Mungkin di sini nggak ada yang punya nyali. Tapi kalau Pak Rahman, pasti beda," Havez nyengir lebar. "Kebayang deh dua superior jadi satu pasangan!"

"Beda usianya lumayan sih, ya. Tapi masih pantes," Heru tertawa. "Apa sih yang nggak pantes buat Pak Rahman? Tampang oke, kerjaan bagus, duit apalagi. Udah jamuran kali duitnya, kerja melulu nggak pernah dibelanjain. Apa lagi yang ditunggu?"

Rahman menanggapi dengan setengah hati. Ucapan Heru tidak salah. Seperti yang sering ditanyakan orang kepadanya, tentang dia sudah punya segalanya, tetapi kenapa tetap melajang? Ah, andai orang-orang itu sedikit lebih kreatif dengan membalik analogi pertanyaannya. Kalau sudah nyaman melajang, buat apa harus berpasangan?

After All This Time (TERBIT) Where stories live. Discover now