Rara menahan diri untuk tidak tertawa. Sebab si bapak dosen meskipun terlihat tenang, matanya tampak waspada ketika menatap ke seluruh peserta kelas. Setelah merasa semua perhatian telah terfokus kepadanya, barulah pria itu berbicara.

Rara mendengarkan dengan saksama penjelasan dari pria yang mengenalkan dirinya sebagai Rahman Hartala. Memang tampan bagi perempuan yang menyukai tipe laki-laki macho dan berkulit gelap. Dan dengan sepasang mata tajam, tulang wajah yang keras karena didominasi oleh rahang yang kukuh, serta hidungnya yang mancung, Rahman Hartala cukup memesona. Plus suaranya yang tegas berwibawa, membuatnya cocok untuk mengendalikan kelas sebesar ini.

Lima menit berlalu. Materi yang disampaikan mulai menarik. Hingga tanpa sadar sudah lebih dari tiga puluh menit pria itu berbicara di depan kelas. Rara mengamati mahasiswa yang tekun menyimak penjelasan dari sang dosen. Dan dia tidak menjumpai ekspresi bosan, mengantuk, atau stress di wajah mereka. Tanpa perlu diungkapkan, sepertinya semua sepakat kalau Rahman bisa menyampaikan kuliah dengan baik. Penjabarannya singkat, padat, dan jelas. Kombinasi kedalaman materi yang bersumber dari pengalaman, dan didukung oleh kekayaan referensi yang dijadikan rujukan.

Ketika waktunya tanya jawab, Rara mengacung.

"Hm ... mahasiswi di baris ketiga," kata Rahman sambil melangkah mendekat. "Dan kenapa kamu memilih bersembunyi di situ, padahal tahu kalau kamu bakal tenggelam?" tegur pria itu begitu bisa melihat sosok Rara. "Berapa tinggi badanmu?"

Semprul! batin Rara yang memang selalu sensitif untuk urusan tinggi badan.

"Saya mau bertanya, apakah Pak Rahman menyusun diktat khusus untuk materi mata kuliah ini?" tanya Rara PD meskipun sadar kalau pertanyaannya kurang bermutu. "Dan menurut saya pertanyaan tersebut tidak ada hubungannya dengan tinggi badan," tambahnya.

Dosen itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dengan tajam dia menatap Rara. "Retorikamu lumayan. Kamu aktivis yang biasa berdebat, ya?" tanya pria itu.

Apa hubungannya sama pertanyaan tadi, Pak Dosen?

"Menurut kamu, perlukah saya menyusun diktat khusus?" Rahman balas bertanya dengan nada menyebalkan.

"Karena saya tidak tahu, maka saya bertanya, Pak," jawab Rara berusaha tetap sopan.

"Wah, kalau begini, perlu pendapat kedua nih. Kira-kira, apakah saya perlu menyusun diktat khusus untuk mata kuliah ini? Tidak cukup kah buku-buku yang tadi saya sebutkan sebagai referensi?" Rahman memalingkan wajahnya. Pria itu bergerak pelan kembali ke depan kelas sambil menatap ke sekeliling ruangan. Lalu meraih map di atas meja yang berisi daftar nama mahasiswa, dan mulai menelitinya. "Silvy Arumi Dewi? Yang manakah mahasiswi dengan nama secantik ini?" tanyanya dengan senyum dikulum.

Seketika kelas gempar. Karena nama yang disebut Rahman barusan adalah milik seorang mahasiswi berparas cantik nan seksi, yang keberadaannya memang menjadi sorotan di jurusan. Dan mahasiswi itu menanggapi pertanyaan Rahman dengan senyumnya yang memikat. Rara bahkan sampai perlu menjulurkan lehernya hingga batas maksimal agar bisa melihat lebih jelas Silvy yang duduk di barisan paling depan itu.

"Dia mahasiswi semester delapan kan, Mas?" tanya Rara pada di cowok sebelah kiri.

"Seksi banget," komentar cowok itu singkat.

Silvy mengangkat tangan dengan gemulai, alih-alih mengacung, dia menggerakkan ujung-ujung jarinya seperti melambai. "Saya Silvy, Pak."

"Oh, ini dia," Rahman pura-pura terkejut. Yang membuat seisi ruangan kembali tertawa. Tawa yang Rara tidak tahu apa alasannya.

"Nah, Silvy, bagaimana? Perlu tidak saya membuat diktat untuk mata kuliah ini?" tanya Rahman, yang intonasi suaranya tiba-tiba berubah menjadi lebih menggoda.

Seketika poin positif dosen itu anjlok ribuan poin di mata Rara. Sulit baginya untuk respek pada pria yang hobi tebar pesona. Karena mengingatkannya pada cowok-cowok teman sekolahnya yang rasis, hanya peduli pada makhluk cantik berjidat licin, dan menganggap gadis biasa-biasa saja sebagai spesies yang tidak diinginkan kehadirannya.

Dalam bersikap, cowok-cowok itu juga luar biasa brengseknya. Ketika seorang gadis biasa-biasa saja membutuhkan pertolongan, mereka akan pura-pura tidak tahu. Tetapi ketika ada si cantik batuk kecil saja, mereka sudah heboh menawarkan diri untuk membawa ke UGD. Najis!

Bukan berarti Rara pernah diperlakukan seburuk itu karena dia masuk golongan gadis biasa saja. Tetapi menurutnya, perilaku begitu tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Suasana kelas hening menunggu jawaban si cantik molek di baris depan yang sedang berpikir keras seolah pertanyaan Rara sesulit mengerjakan persamaan integral pangkat tiga.

"Perlu tidak, ya?" akhirnya Silvy balas bertanya. Dengan suara rendah mendesah yang memanjakan telinga.

Suaranya! Rara terkejut karena desahan itu membuatnya teringat pada adegan yang dia temui di video 3gp koleksi Andy, teman dekatnya. Gila! Buat Rara yang cewek saja efek suara Silvy bisa membuatnya berpikir yang tidak-tidak, apalagi buat para cowok? Diam-diam dia melirik mahasiswa di kanan kirinya, melihat bagaimana jakun mereka bergerak seperti sedang menelan ludah. Mungkin ini yang disebut sex appeal itu.

"Baiklah, sambil menunggu Silvy memutuskan apakah saya perlu membuat diktat atau tidak, kita lanjutkan ke materi selanjutnya."

Joke murahan yang dilempar oleh Rahman dan lagi-lagi disambut oleh tawa seisi ruangan, membuat Rara gondok. Padahal apa susahnya sih, menjawab iya atau tidak bagi pertanyaan sesederhana itu? Dan bukannya dijadikan parodi yang menurutnya sama sekali tidak lucu ini.

Rara menatap dosennya dengan berang. Kebetulan di saat yang sama pria itu juga sedang memandang kepadanya. Seringai sinis di sudut bibir dosen tampan itu menyulut kemarahan Rara. Dengan kesal akhirnya dia berpaling.

Kelas berakhir dan sang dosen tidak berkomentar lagi tentang pertanyaan Rara. Seisi ruangan bergerak. Terdengar suara kursi digeser, ransel dipanggul, tas diselempang, dan para mahasiswa keluar dengan berbondong-bondong. Ada yang berkelompok, ada pula yang berjalan sendiri seperti Rara. Gadis itu menatap sekeliling tanpa tahu apa yang dia cari.

Lalu dia melihat Silvy yang masih berbicara dengan Rahman. Gerak-gerik keduanya menarik perhatiannya. Bagaimana Silvy yang dengan luwes mencondongkan tubuh sintalnya kepada pria dewasa di depannya. Atau bagaimana cara Rahman merespon bahasa tubuh itu dengan membungkukkan badan serta mendekatkan kepala ke arah bibir Silvy, seolah mereka saling berbisik. Lalu Silvy tertawa dengan desahannya yang seksi itu dan Rahman menanggapinya dengan senyum yang tak kalah menggoda.

Ketika mereka saling bertatapan, buru-buru Rara memalingkan muka. Dia merasa jengah karena seperti baru saja melakukan kesalahan karena memergoki sebuah momen pribadi. Padahal itu absurd karena interaksi keduanya dipertontonkan di depan publik. Tapi persetan lah. Rara cepat-cepat melangkah meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.

After All This Time (TERBIT) Where stories live. Discover now