6. GEMURUH YANG DATANG

Mulai dari awal
                                    

Keranjang pakaian dan beberapa isinya yang tergeletak begitu saja di atas meja ruang tengah seolah menjawab prasangka Tombak. Dengan langkah pelan, pria itu berjalan menuju kamar dan membuka pintu. Gelap, bahkan lampu tidur di atas nakas pun padam. Dari tempatnya berdiri, yang bisa Tombak lihat adalah selimut yang menutupi seluruh tubuh seseorang yang meringkuk membelakangi pintu.

Jelas sudah. Aira marah padanya.

.

.

Sebisa mungkin Tombak tak menimbulkan suara saat mengambil satu per satu pakaiannya dari lemari. Di atas ranjang, Aira terlihat tertidur dengan pulas. Tombak tak mau membangunkan perempuan itu. Urusan ijin biarlah ia mengatakannya nanti. Hanya untuk saat ini, ia butuh memegang prinsip 'lebih baik minta maaf dari pada minta ijin' kepada istrinya sendiri.

Tombak membawa pakaian dan ranselnya ke sofa ruang tengah. Dengan tenang ia memasukkan beberapa pakaiannya di dalam ransel. Kepalanya lalu menoleh ke arah jam dinding, masih ada waktu setengah jam sebelum ia menjemput Gembul dan Andrea. Tombak butuh kopi untuk mengawali hari yang panjang untuknya.

Setelah berkutat di dapur untuk membuat kopi, Tombak sedikit terkejut melihat sosok perempuan berwajah masam yang berdiri di depan pintu kamar. Tangan perempuan itu bersedekap di depan dada, sedangkan kedua mata lembutnya jelas berusaha terlihat galak di hadapan suaminya.

"Mau kopi?" Tombak tentu asal mengatakannya.

Tak ada jawaban dari Aira. Kedua matanya ganti menatap ransel Tombak yang berdiri di atas sofa.

Tombak menarik napas, dan berjalan mendekat. Entah mengapa ia merasa suasana yang ia alami sekarang sama mencekamnya dengan semua pengalaman berbahaya yang pernah terjadi sepanjang hidupnya. "Aku ada urusan bisnis mendadak di luar kota," ucapnya saat berhenti di depan istrinya.

"Kamu packing baju di ruang tengah karena nggak mau aku tahu kepergian kamu atau gimana?"

"Aku nggak mau ganggu istirahat kamu."

Aira menghela napas dan membuang muka. "Pulang kapan?" tanyanya lirih.

"Belum pasti. Aku kasih kabar lagi nanti."

Tak ada tanggapan dari Aira yang kini tengah menundukkan kepala.

Tombak mengecup lembut pipi Aira. "Aku berangkat. Menginaplah di rumah Tante Ida kalau kesepian."

"Hm."

Dengan berat hati Tombak menghampiri ranselnya. Pria itu hampir saja meraih benda hitam besar tersebut, sebelum jemari Aira menarik jaketnya.

"Hati-hati," ucap Aira lirih. Tatapan galak itu sudah tak nampak lagi di kedua matanya, digantikan dengan sebuah tatapan penuh penyesalan.

Tak butuh jeda sedetik bagi Tombak untuk segera meraih tubuh Aira dalam pelukan eratnya.

"Maaf." Aira menyurukkan kepalanya di leher Tombak. "Aku kekanak-kanakan, ya?"

Tombak terkekeh sekali. "Kenapa harus minta maaf?"

Aira mengecup sudut bibir Tombak. "Jangan lupa kasih kabar."

"Hm." Tombak melepas pelukannya. "Aku berangkat, ya?"

"Iya."

Hingga Tombak berjalan keluar pintu, Aira hanya bisa memandangnya dengan sendu.

***

Sesekali Gembul melirik Tombak yang tengah menyetir di sampingnya. Sama seperti mantan partner kerjanya itu, Gembul pun tak henti-hentinya mengira-ngira alasan di balik permintaan Bosnya.

BERTEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang