Vivian menyentuh permukaan pohon glordin. Ia merasakan sebuah getaran, dan bayangan wanita memasuki pikirannya. Wanita itu sangat cantik dengan balutan gaun hijau senada dengan rambut panjangnya.

"Kaukah yang memanggilku tadi."

Kini Vivian berbicara dengan pikirannya. Lebih tepatnya, melakukan telepati. Tiba-tiba dirinya sudah berada di sebuah ruangan putih. Seorang wanita yang tadi dilihatnya kini berdiri di depan Vivian.

"Ya, tuan puteri. " Wanita itu berlutut menunjukkan hormatnya.

"Aku bukan puteri. Panggil saja Vivian," katanya lembut.

Wanita itu mengangkat kepalanya dan tersenyum.

"Baiklah. Aku akan memanggilmu sesuai keinginanmu. Kalau begitu, panggil aku Zhavira. Jiwa yang menjaga kota ini. Aku tinggal di dalam pohon glordin."

Vivian menatap wanita itu. "Kenapa kau menyanyikan lagu itu?"

"Karena kau mengunjungi kami. Aku hanya senang kau datang ke kota ini. Selamatkan dunia, dengan begitu kau menyelamatkan kami, jiwa penjaga yang mendiami pohon glordin. Hanya kau yang bisa melakukannya, Nona Vivian."

Lagi-lagi wanita itu menunduk memberi hormat padanya. Vivian tidak mengerti mengapa harus dirinya. Ia bahkan tidak tahu caranya bertarung ataupun memegang senjata. Pastilah jiwa penjaga itu mimpi buruknya.

"Bangun Vivian... ini tidak nyata," bisiknya. Ia mencoba keluar dari alam pikirannya. Tapi seperti ada yang menghalangi.

"Ini nyata Vivian. Kau tidak sedang bermimpi. Aku yang mengundangmu. Ingatlah ini, saat kau sedang kesulitan."

Wanita itu memainkan tangannya ke udara membentuk tarian. Taburan serbuk berkilau mengelilingi tangannya yang menari.

"Panggil aku dengan menyentuh untaian benang emas ini. Dengan senang hati aku akan membantumu."

Sebuah untaian benang berbentuk tipis menyatu dengan tubuh Vivian, membuat gadis itu terkesiap karena terkejut.

"Bangunlah Vivian," katanya lagi, mencoba mengembalikan dirinya ke dunia nyata.

Wanita itu tersenyum padanya sebelum menghilang bersama udara.

"Vivian...Vivian...." Samar-samar ia mendengar suara Jemy dari kejauhan.

"Ayah...," bisiknya. Ia merasa tubuhnya berat. Entah di mana dirinya saat ini, semua gelap. Padahal tadi ia berada di ruangan putih.

"Ya, ini aku. bangunlah." Suara itu terdengar semakin dekat.

"Ayah...," gumamnya lagi masih dengan mata terpejam.

Jemy menyadari bahwa Vivian terjebak dalam dunia mimpi. Ia mencoba tenang untuk membangunkan gadis itu. Selama Vivian masih bisa menjawabnya, maka ia masih aman. Jemy mengambil pisau yang digenggam Vivian.

"Maafkan aku. Tapi tidak ada cara lain."

Jemy menggoreskan pisau itu di telapak tangan Vivian. Hanya goresan kecil sepanjang lima centi, namun cukup menyakitkan. Vivian berteriak. Ia langsung membuka matanya seketika dan rasa sakit menyengat telapak tangan kirinya. Ada darah yang menetes di sana. Vivian menatap darahnya sendiri dengan ngeri.

"Tahan sedikit."

Jemy merobek ujung bajunya dan mebasahinya dengan air yang ia bawa lalu mengelap luka itu. Vivian meringis hingga menggigit bibirnya. Dengan terampil Jemy membalut luka di tangan Vivian dan mencuci darah itu dengan air yang banyak hingga tidak tertinggal baunya sedikit pun. Akan sangat berbahaya jika ada yang mencium bau harum dari darah tuan puterinya.

A Pearl Girl: Story From Moon KingdomWhere stories live. Discover now