letter. cinta ketujuh

538 53 5
                                    

Changmin menatap penuh rasa keheranan mendapatkan sebuah pernyataan dari lelaki yang duduk bersebrangan dengannya terhalang meja; gue mau nagih utang. Seingatnya ia tidak pernah meminjam uang sepeserpun pada teman seperkuliahannya ini, bagaimana bisa tanpa aba-aba dia menagih utang padanya. Pipinya tak berhenti bergerak ㅡtengah mengunyah potongan croffle kesukaannya, namun alisnya yang menukik tidak menggambarkan rasa senang menikmati makanan kesukaannya. “Kapan gue punya utang sama lo, Ju?”

Pertanyaan itu lolos dari mulut Changmin setelah lebih kurang tiga menit berlalu, hening waktu dihabiskan untuk mengunyah habis pastry yang ada di dalam mulutnya. Garis-garis kerutan semakin nampak di keningnya kala rungunya bukannya mendengar jawaban pasti, melainkan tawa halus yang mengalun dari sela bibir layaknya kucing itu. “lima belas tahun yang lalu, mungkin? atau lebih ya?” ujarannya seakan sarat akan ketidakpastian, namun lengkungan kecil di ujung bibirnya mengatakan sebaliknya.

Kantung kertas coklat berisi crofflenya ia letakan di atas meja, memandang serius lelaki berperawakan kucing di hadapannya. “Seriously, Ju. Lima belas tahun yang lalu berarti kita masih sekolah dasar, apa yang lo harapkan, gue bahkan gak ingat apa aja yang gue lakukan bulan lalu.” keluhnya tidak percaya dengan perkataan lawan bicaranya saat ini.

Juyeon mengangguk mengerti dengan rendahnya kemampuan teman sebayanya ini dalam mengingat hal-hal kecil. Diraihnya cangkir berisikan coklat hangat ㅡyang sudah tidak lagi hangat, menyesap likuid kental berwarna coklat pekat guna membasahi kerongkongannya menunggu lelaki kucing itu mencari sesuatu di dalam ransel hitamnya. Keningnya kembali mengkerut memperhatikan raut wajah Juyeon berubah cerah, sepertinya berhasil menemukan barang yang dicari.

Likuid coklat yang seharusnya mengalir turun ke kerongkongannya kembali naik membuatnya tersedak saat Juyeon dengan senyuman lebarnya menyodorkan secarik kertas terlipat berwarna merah jambu yang sudah memudar dimakan waktu di atas meja ke arahnya. “Mau lo baca sendiri atau gue yang bacain?” Changmin seratus persen yakin jika Juyeon saat ini tengah menghinanya ㅡdalam konteks bergurau, terlihat dari alisnya yang bergerak naik-turun dan senyuman lucu menjengkelkan.

Setelah meredakan batuknya dengan tenang ㅡhanya sebuah tindakan penjagaan imej, tangannya yang jauh lebih kecil dari milik lelaki kucing itu meraih lipatan kertas tersebut yang ia yakini sebuah surat. Pipinya bersemu merah jambu seperti terkena sorotan panasnya sinar matahari di siang hari. Secarik kertas itu bertuliskan rangkaian kata dengan penulisan yang jauh dari kata bagus ㅡtulisan ceker ayam kata ibu. Ia bahkan harus membacanya berulang kali untuk mengerti maksud tulisan yang ada di dalam surat tersebut.

“Ju,”

“Ya?”

Kok ini masih ada di lo?”

Juyeon tertawa mendapati ekspresi campur aduk di wajah teman seperjuangannya itu, “Lo bahkan gak nyangkal kalo surat itu buatan lo, Ji?” ledeknya tanpa berniat menjawab pertanyaan dari lelaki menggemaskan layaknya hamster. “Halo Juyo! Juyo tadi keren banget kayak pahlawan di filem! Aku suka hihi. Aku mau Juyo jadi pahlawan aku! Ayo nikah nanti aku kasih jeli buat Juyo! Dari, rahasia. Titik dua lengkung, bunga matahari.” Tawa Juyeon semakin membesar kala melihat bagaimana wajah Changmin sepenuhnya merah padam hingga ke leher panjangnya dan telinganya saat ia mengucapkan isi surat dengan tepat ㅡpenuh canda pula.

Juyeon perlahan meredakan tawanya ketika Changmin menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat didefinisikan, seakan ingin bertanya banyak hal kepadanya namun tidak dapat diungkapkan. “Bunga matahari,” ekspresi Changmin melunak karenanya, mendengarkan Juyeon yang sepertinya akan memberinya penjelasan, “cuma lo, orang terdekat gue yang sebegitu cintanya sama bunga matahari, Ji.”

Tak ayal penjelasan Juyeon cukup menarik kedua sudut bibir tipis milik Changmin meski sedikit. “Lo belum jawab pertanyaan gue, Lee. Kenapa masih ada di lo?” Changmin kembali bertanya setelah menetralkan kembali raut wajahnya menjadi seperti biasanya. Tangan berjari panjangnya kembali melipat kertas lusuh itu seperti sedia kala, dan menaruhnya di atas meja, tepat di tengah-tengah antara kedua tangan mereka.

orbis; around youWhere stories live. Discover now