3. Mekanisme dan Reaksi

Start from the beginning
                                    

"Bayu," kupanggil namanya.

Dia menoleh.

"Mau minum?" tanyanya.

Minumanku baru saja habis, dia sedang mau minum.

Aku menggeleng, "Tapi kalau dibantu, boleh. Aku mau."

Dua alisnya beradu, "Dibantu apa?"

"Dibantu buat sayang sama diriku sendiri." kubilang.

"Katanya itu urusan sendiri." balasnya.

"Katanya kamu mau bantu."

Dia senyum, "Oke."

Lantas aku juga. Entah kenapa dadaku jadi agak deg-degan setelahnya. Hari itu kami ketemu setelah aku pulang kerja, Bayu mengantarku pulang ke rumah juga. Kau tau gak sih perasaan bisa melihat atau merasa atau menebak kalau seseorang itu kelihatan lebih senang atau semacamnya? Sebab aku melihat Bayu begitu sejak kubilang aku mau dibantu.

"Anya," panggilnya sewaktu sampai depan rumah dan kubuka pintu mobilnya.

"Kenapa?"

"Tapi gak usah dipaksa, ya." katanya.

"Iya."






"Setengah jam sebelum pulang kerja, telepon saya, ya. Suka macet daerah perempatan."

"Iya."

"Nya, besok berangkat jam berapa?"

"Kayak biasa aja."


"Aku keliatan aneh gak sih?"

"Enggak, kalau keliatan cantik iya."



"Aku gak langsung pulang hari ini, temenku ngajak pergi pulang kerja."

"Oke, kasih tau dimana, sama kira-kira selesai jam berapa, ya?"

"Iyaaaa."


"Nya, saya boleh ke rumah malam minggu?"

"Boleh, dari sore aja mau gak?"

"Mau, nanti saya ke rumah, ya. Mau dibawain apa?"


"Kamu pulang sama siapa?"

"Sama temen."

"Kenapa saya gak dikasih tau? Saya nyari kamu."

"Maaf, tadi kelupaan."

"Saya khawatir."



"Ngomongnya jangan saya-saya, ah. Kayak temen kerja aja."

"Udah kebiasaan."

"Ya sekarang dibiasain lagi, dong."

"Iya, saya usahain."

"Itu gak diusahain."

"Salah ngomong barusan mah. Aku usahain."

Begitu kira-kira percakapanku dengan Bayu, secara singkatnya yang paling sering terjadi adalah dua-tiga dari percakapan-percakapan itu. Kalau kau berpikir Bayu membuatku risih dan merasa diawasi, enggak. Bayu bukan posesif, buatku dia cuma bersikap baik. Sebab kalaupun aku menolak, dia setuju dan gak bertanya apapun lagi. Dia pernah bilang,

"Aku orangnya pasti nanya kalau gak bisa nangkep sinyal apa yang lawan bicara mau. Tapi kalau kamu risih karena itu, bilang."

"Langsung bilang?" tanyaku.

"Iya."

"Kalau aku gak mau bilang?" kutanya lagi.

"Ya udah gak apa-apa."

"Kok gak apa-apa?"

"Itu terserah kamu "

"Kok terserah?"

"Aku menghargai kamu, sangat." jawabnya, kalimat yang pernah aku dengar beberapa kali darinya.

Menjadi BaikWhere stories live. Discover now