Risa seketika tersentak saat jam wekernya berbunyi lumayan kencang. Ia lupa mematikan Alarm pengingat untuk belajar, padahal sekarang masih hari libur. Akibat alarm itu, kegiatannya yang sedang mengingat kejadian tiga tahun yang lalu terhenti. Dengan buku dairy yang masih dipegangnya saat ini, ia jadi mengingat kejadian itu lagi. Kejadian di mana Risa ditembak oleh pria untuk pertama kalinya.

Risa jadi mengingat hal tersebut bukan tanpa alasan. Itu semua karena pesan masuk dari nomor yang tak dikenalnya. Isinya seperti ini.

From 0812**********
Setelah gua akui ini, lu pasti sadar siapa yang bermain-main dengan lu selama ini. Itu semua salah lu sendiri yang udah nolak gua waktu itu. Gua kasih lu pilihan nih. Lu pilih tutup kasus ini dan jadi pacar gua atau sahabat kesayangan lu ini pergi dari hidup lu jauh-jauh? Gimana? Mengguntungkan keduanya bukan? Gua tunggu jawaban lu ya. See you, cantik.

Kepala Risa terasa berputar saat ini. Dia pikir pria itu sudah melupakan perasaannya. Bahkan mereka satu SMA lagi dan pria itu selama ini terlihat biasa saja dengan Risa. Malah terkesan seperti orang asing. Tapi, kenapa pria itu melakukan hal sejauh ini sampai menyabotase jawabannya. Alasannya juga cukup aneh karena pernah Risa tolak. Ini semakin aneh kenapa balas dendamnya baru Akhir-akhir ini, sedangkan tiga tahun belakangan ini pria tersebut tidak melakukan hal apa-apa. Ini nggak masuk logika, pria itu ditolak tiga tahun ya, tapi balas dendamnya sekarang? Risa tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Tapi, tunggu, ini semua juga ada kaitannya dengan Dinda bukan? Ia rasa Dinda pasti tahu alasan sebenarnya pria itu melakukan hal ini.

Akan tetapi, pria itu mengancam akan membuat sahabat Risa pergi jauh dari hidupnya bila tak menuruti kemauannya. Tapi, sahabat Risa yang mana? Ananda? Tiar? atau jangan-jangan Dinda? karena Dinda sendiri tahu kasus sabotase ini.

Tidak mau membuang-buang waktu, Risa segera bersiap-siap untuk ke rumah Dinda. Waktu masih menunjukan pukul 4 sore. Ia masih ada waktu sebelum hari benar-benar gelap.

Setelah meminta izin untuk keluar rumah kepada mama. Dengan langkah tergesa, ia segera menuju halaman rumah. Untung saja motor tidak sedang dipakai Rama.

Baru saja ingin menjalankan motornya, tapi seseorang yang baru saja memasuki pagar rumahnya membuat kegiatannya terhenti. Dari sini, Risa bisa melihat Azzam yang mendatanginya bersama seorang wanita paruh baya.

"Mau kemana, Neng geulis?" tanya Mama Azzam saat sudah sampai di dekat pintu masuk rumah.

"Ke rumah temen, Ma," jawab Risa.

"Zam, temenin sana. Udah sore banget takut malah kemalaman nanti Pulangnya," perintahnya kepada Azzam yang tengah mengangkat beberapa perkakas yang dipinjamnya dari rumah Risa.

"Eh enggak usah, Ma," tolak Risa secara halus.

"Duh bahaya loh. Biar Azzam temenin aja ya," ujarnya.

"Tapi–"

"Iya, Ris, nggak papa ana temenin. Tunggu ya, ambil motor dulu," ujarnya.

"Lah ngapain ambil motor? itu loh bareng aja naik motornya."

Azzam dan Risa hanya saling lirik beberapa detik akibat ucapan wanita paruh baya ini. Mereka sadar tidak mungkin bergoncengan, mereka tahu batasan. Cukup sekali saja waktu itu saat motor Risa mogok karena bannya bocor.

"Tunggu Azzam halalin dulu, Ma. Baru goncengan," bisiknya kepada sang Mama tanpa bisa didengar Risa. Setelah itu, ia langsung meletakan perkakas  di samping halaman rumah dan pergi menuju Rumah.

"Yaudah aku berangkat dulu ya, Ma. Assalamu'alaikum," pamit Risa.

Risa benar-benar tak habis pikir dengan keluarga Azzam yang begitu mempedulikannya. Kalau seperti ini terus, ia merasa selalu merepotkan orang lain. Netranya melirik kaca spion yang menampilkan seorang pengendara motor yang mengikutinya dari belakang. Senyum tiba-tiba tersungging. Azzam benar-benar menjaganya dari jauh.

Past and FutureWhere stories live. Discover now