"Ibunya Liwa cerita banyak sama Ibu gue. Termasuk tentang lo yang dijual sama Ibu lo sendiri." ujarnya yang membuat gue membuka penutup mulut gue dan merasa lemas karena pada akhirnya semua itu bukan rahasia keluarga lagi.

Gue menunduk dan berkata dengan suara yang sangat pelan.

"Apa selain lo, ada lagi murid di sekolah yang tau?" tanya gue.

"Enggak ada kok. Tenang aja, gue juga nggak berniat ngasih tau ke yang lain. Gue ngajak lo kesini karena selain minta lo jangan kasih tau Liwa, gue juga mau lo bantuin gue supaya gue bisa deket dan jadian sama dia." ujarnya. Gue kembali mendongak lalu menghirup napas dalam dan menghembuskannya perlahan.

Setelahnya gue menggeleng pelan merasa lelah di permainkan sama nasib yang menjebak gue ke dunia seperti ini.

"Kalo yang satu itu gue nggak bisa bantu. Gue nggak punya banyak waktu, lagian Liwa nggak homo. Dia masih normal dan ceweknya banyak. Tapi kalo lo mau berusaha, silahkan lo lakuin sendirian gue nggak minat bantuin lo." ucap gue, lalu kemudian berdiri dari duduk gue untuk berlalu pergi meninggalkannya keluar dari cafe itu.

Untungnya Vino nggak mengikuti gue, membuat gue merasa lega dan melanjutkan perjalanan gue menuju ke suatu tempat untuk mencari pekerjaan paruh waktu yang sangat gue butuhkan saat ini.

Tapi gue harus menghentikan langkah gue sebentar begitu ponsel gue berbunyi dan menampilkan beberapa digit nomor yang nggak gue kenali. Gue awalnya ragu, tapi tetep gue angkat untuk mengetahui siapa yang menelpon.

"Ha-"

"Lo dimana?" ujar suara di sebrang telpon yang memotong ucapan gue yang ingin menyapanya.

Mendengar suaranya membuat gue langsung tau siapa yang nelpon. Siapa lagi kalo bukan Liwa. Menyadarinya membuat gue ingin sekali memutuskan sambungan telpon itu.

"Darimana lo dapet nomor gue?" tanya gue dengan nada yang ogah-ogahan. Gue masih menahan sambungan telpon itu untuk menanyakan ini.

"Nggak penting. Lo dimana sekarang, biar gue jemput. Nyokap Bokap gue ada dirumah. Mereka mau lo sama gue pulang sekarang." ucapnya.

"Kenapa harus sama gue?" balas gue.

"Ya kenapa lagi? Lo kan menantu mereka. Udah sih, bacot banget lu. Cepetan kasih tau dimana posisi lo. Biar gue jemput sekarang." desaknya, membuat gue nggak ada pilihan lain selain memberitahukan lokasi gue dan mematikan sambungan telepon itu untuk menunggunya disalah satu kursi yang ada di dekat bawah pohon besar.

Gue menungguinya disana sampai akhirnya sebuah motor besar berhenti dihadapan gue dengan sang pengendara yang membuka kaca helmnya dan menampilkan sosok Liwa yang terlihat berantakan dengan bajunya telah berganti menjadi pakaian yang celananya robek-robek.

"Naik." ucapnya. Gue berdiri dari duduk gue dan menghampirinya.

"Mobil yang lo bawa tadi mana?" tanya gue yang sebenarnya nggak butuh jawaban karena gue cuma basa-basi aja.

Tapi Liwa tetap menjawabnya dan mengatakan kalau mobilnya ia titipkan di tempat perkumpulannya yang nggak mau gue tau dimana itu. Yang jelas gue cuma ngangguk, lalu naik ke motor itu yang seketika membuat gue merasa aneh karena merasa pantat gue ke angkat dan memaksa gue untuk nungging dengan tubuh gue yang condong ke depan.

Karena nggak mau tubuh gue bersentuhan sama Liwa. Gue pun berusaha menegakkan tubuh gue dengan kedua tangan yang berpegangan pada bagian belakang tempat duduk.

"Udah, jalan." ujar gue karena sudah merasa siap naik di motor itu.

Namun bukannya jalan, Liwa malah menoleh ke belakang dan menatap gue heran.

"Lo nggak pegangan?" tanyanya, lalu matanya menelusuri gue sampai akhirnya berhenti ke arah tangan gue yang dua-duanya menghadap ke belakang.

"Sialan. Malu-maluin banget lo naik motor beginian pegangannya disitu. Lepasin. Bikin gue malu aja." ucapnya menyuruh gue yang segera saja gue tolak dengan gelengan kuat.

"Gue nggak mau ya. Gue tau lo pasti nyuruh gue buat meluk lo terus lo mau modus-modus ke gue kan?" ujar gue yang membuatnya menatap gue dengan mata yang sedikit melebar.

"Wahh...gue nggak tau lo bisa berpikiran kayak gitu. Denger ya, maupun lo meluk gue terus nempelin tetek lo ke punggung gue. Gue nggak bakalan napsu. Lo cowok anjir. Ngapain lo mikir sejauh itu? Atau jangan-jangan lo yang berharap gue modusin?" ucapnya dengan satu jari yang menunjuk ke arah gue.

Gue yang melihatnya dengan cepat menggigit jari itu cukup kuat, membuatnya meringis kesakitan dan mengibas-ibaskan tangannya untuk meredakan rasa sakit yang dia rasakan.

"Anjing lu!" marahnya.

Gue nggak membalasnya dan malah tersenyum cukup lebar lalu kemudian berkata.

"Ayo, istriku. Kita berangkat. Jangan banyak bacotnya, nanti bagian lain bisa gue gigit juga." ucap gue pelan, namun gue beri sedikit ancaman di dalamnya.

Liwa terlihat nggak terima dan menatap gue tajam. Tapi kemudian dia membalikkan kepalanya ke arah yang seharusnya lalu kemudian menyalakan mesin motornya setelah berkata.

"Pokoknya gue nggak tanggung jawab kalo lo jatoh pas gue ngebut." ucapnya, lalu detik berikutnya gue hampir ngejengkang jatuh kalo aja gue nggak sigap untuk melingkarkan tangan gue memeluk tubuhnya.

Jantung gue serasa ingin copot dan berdetak sangat cepat karena Liwa yang langsung menancap gas dengan kecepatan diatas rata. Gue mencak-mencak, memaki dirinya dengan kata-kata kasar.

Namun Liwa tidak mengindahkannya dan terus ngebut menyisahkan gue yang berharap-harap cemas supaya gue selamat dari perjalanan ini. Tapi apapun itu, gue bersumpah bakal balas perbuatan Liwa yang satu ini. Lihat aja.

• • •

tbc.

I Married an Enemy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang