"Gue...suka sama salah satu cowok yang ada di kelas itu." ucapnya.
Gue awalnya masih mencerna ucapannya. Tapi setelah gue paham kalo dia baru aja ngucapin kata cowok yang mana dirinya juga cowok, gue jadi syok dan menatapnya tidak percaya dengan segala pikiran yang akhirnya tertuju pada gue.
"Lo...jangan bilang kalo lo...suka sama gue?" ucap gue lalu menggunakan satu tangan gue untuk menutup mulut gue dan menggunakan tangan satunya untuk menunjuk dirinya yang perlahan mendongak menatap gue. Detik berikutnya bisa gue rasakan tamparan kecil pada kepala gue yang dilayangkan oleh Vino yang membuat gue tercengang.
"Lo kira gue cowok apaan sukanya cowok kayak elo. Mikir kali. Lo nggak menarik sama sekali." ucapnya yang tepat mengenai hati gue yang menghela napas memilih untuk melupakan ucapannya barusan.
Lalu setelahnya gue berbalik dan berniat meninggalkannya karena ternyata nggak ada hubungan apapun sama gue akan masalahnya. Tapi gue kembali menghentikan langkah kaki gue saat Vino kembali berkata dengan ucapan yang nggak kalah membuat gue terkejut mendengarnya.
"Liwa!" ucapnya dengan sedikit berteriak. Dia berlari kecil untuk menyusul gue dan berhenti tepat di belakang gue.
"Cowok yang gue suka namanya Liwa. Cowok yang kemaren nikah sama elo." ujarnya.
Jantung gue berdebar kencang dengan perasaan takut yang menghampiri gue saat menyadari kalau Vino sangatlah berbahaya karena sudah mengetahui hubungan gue sama Liwa walaupun semua itu hanya paksaan. Dan karena itu pula, gue dengan cepat berlari meninggalkannya untuk mencari Liwa yang entah dimana keberadaannya.
Sayangnya sampai waktu pulang sekolah tiba. Sosok Liwa nggak gue temui dan gue kembali berkahir bersama Vino dan berjalan berdampingan bersamanya keluar menuju parkiran sekolah.
Gue nggak ngomong apa-apa karena tiba-tiba merasa canggung setelah mengetahui kalau Vino adalah salah satu tamu yang hadir kemarin. Tapi Vino lah yang mengawali percakapan diantara kami dengan mengajak gue ke salah satu cafe untuk membicarakan perihal fakta yang beberapa jam lalu dia ucapkan.
Gue sih oke-oke aja. Lagian gue juga mau ngomong sesuatu sama dia, mau minta supaya dia nggak ngumbar apalagi ngasih tau ke orang lain perihal pernikahan gue sama Liwa.
"Oke. Jadi apa yang mau lo omongin?" tanya gue begitu Vino telah selesai memesan minuman yang entah apa namanya.
Vino menatap ke arah gue dan memasang senyuman yang kentara sekali kalo dia memaksa senyuman itu.
"Nggak banyak sih. Gue cuma mau lo rahasiain tentang perasaan gue ke Liwa. Gue nggak mau dia tau dan pada akhirnya gue nggak bisa ngeliat dia lagi." ucapnya yang membuat gue berpikir cepat sebelum akhirnya bertanya.
"Sebenarnya lo sama Liwa tuh saling kenal nggak sih?" tanya gue heran. Karena kalo emang Vino suka sama Liwa, pastinya mereka saling kenal kan? Tapi pas perkenalan maupun pas istirahat tadi Liwa nggak ngasih tanda-tanda kalo dia kenal sama Vino. Nyapa pun enggak.
Vino menggeleng pelan. "Enggak. Gue sama dia nggak saling kenal kok. Gue jatuh cinta sama dia pas nganter Ibu gue ke pernikahan kalian. Gue yang emang homo langsung suka ngeliat ketampanannya. Jadi ya gue putusin untuk pindah sekolah buat ngejar cinta gue." jelasnya. Gue menaikkan satu alis gue menatapnya.
"Lo mau ngejar Liwa padahal lo sendiri tau dia udah nikah?" tanya gue heran.
"Nggak usah bawa-bawa pernikahan kalian kalo lo sama Liwa sendiri nggak menganggap pernikahan itu ada." ucapnya dengan nada malas dan kedua bola matanya yang berputar.
Gue yang mendengar itu tentu saja terkejut. Gue terkesiap dengan satu tangan yang menutup mulut gue memandangnya tidak percaya.
"Gi-gimana lo bisa tau?" tanya gue sedikit terbata.
YOU ARE READING
I Married an Enemy [END]
Teen FictionMungkin menikah adalah cita-cita yang wajib bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini. Ya gue juga sih. Tapi kalo nikahnya sama orang yang paling lo benci, apa lo masih bisa mencita-citakan hal itu? Apalagi posisinya lo masih sekolah dan harus ti...
- 02 -
Start from the beginning
![I Married an Enemy [END]](https://img.wattpad.com/cover/250319342-64-k62729.jpg)