Daksamu tampak rapuh, manis.
Namun, umpatanmu menjelma lagak kidung nirmala, nuranimu pun gata, menyingkirkan harsa yang sempat kau pinang dengan riang.
Kemana renjana yang sepatutnya membalut logikamu, manis? Masihkah eunoiamu yang bertalu dengan...
Lucas menatap Mark, berusaha mencari pembelaan diatas penderitaan Renjun. “Renjun telah berusaha untuk menemui orangtua kekasihnya. Mereka tidak mau menemui Renjun. Bahkan, menolak untuk mengizinkan Renjun menginjakkan kaki di kediaman mereka.”
Rahang Mark mengeras. Tenggorokannya terasa sakit untuk menelan rasanya. Ia masih terdiam, membiarkan Lucas melanjutkan ceritanya.
“Renjun begitu kesakitan, Mark. Mengapa Renjun di teriaki seorang pembunuh?” Lucas menangis tersedu, ia mengabaikan pandangan orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit seraya menatap aneh kearahnya.
“Renjun juga selalu menggumam maaf. Ucapan dari orangtua Jeno telah mendistraksi pikiran Renjun.”
Mark menghela nafas. Kepalanya terasa pening mendengar kisah dari adik temannya. Tangannya menepuk bahu Lucas guna memberikan kekuatan, “kau harus makan.”
“Makan? Bagaimana bisa aku menelan makanan jika Renjun tidak berdaya di dalam sana?!” Lucas murka. Teriakannya menggema di sepanjang koridor.
“Lucas, Renjun terdiagnosis mengidap gangguan mental. Untuk sementara, aku berasumsi pada tipe gangguan depresi.”
Lucas menatap Mark dengan nanar. Tubuhnya terasa semakim melemas mendengar kalimat yang terlontar dari Mark.
“Renjun tertekan. Rasa ditinggalkan oleh orang terkasih membuatnya terpuruk. Di tambah dengan perkataan yang menjurus bahwa dirinya yang membunuh—,”
“Renjun tidak membunuh! Dia juga korban, Mark. Dia korban!” Lucas meracau, air matanya kembali meluruh.
“Aku minta maaf, Lucas. Aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Aku hanya menyimpulkan sementara dari ceritamu sebelumnya.” Maek berupaya menenangkan Lucas. Ia tahu Lucas tak kalah kacaunya dari Renjun.
“Lucas, sebaiknya kita lan—,”
“Dokter! Pasien atas nama Huang Renjun telah sadar!”
Mark mengangguk, memilih membatalkan percakapannya dengan Lucas yang sempat terpotong oleh salah satu perawat di rumah sakit. Ia mengikuti Lucas yang tergesa memasuki ruangan sang adik.
“Renjun, ini Gege.” Lucas meraih jemari Renjun. Ia meringis menatapi tangan sang adik yang telah terbalut perban, “ada yang sakit?”
Renjum hanya diam, ia menatapi dengan lekat wajah sang kakak. Namun, yang Lucas dapat adalah tatapan kosong sang adik. Lucas sedikit merasa sedih dan takut secara bersamaan.
“Njun?”
“Mereka banyak. Mereka, aku ... Mati.” ucapan Renjun begitu kurang Lucas pahami. Lucas beralih menatap Mark mengirimkan sinyal bantuan.
Seakan mengerti, Mark mengangguk dan mendekati Renjun, “mereka siapa?”
Renjun mengedipkan mata berulang. Ia menatap lekat wajah Mark. Mencari-cari jawaban atas isi kepalanya. Kemudian bibirnya bergetar, Renjun menelan ludah gugup. Ia merasa entitas yang berada di hadapannya kini begitu asing. Tapi tidak ada tatapan mengintimidasi.
“Apakah kau akan mengatakan aku pembunuh juga?” batin Renjun seraya menyelami raut wajah serta tatapan yang Mark tujukan untuknya. Raut wajah penuh ketakutan dapat Mark tangkap, ia lebih melembutkan tatapannya, sedikit mengulas senyum, “jangan takut, hm.”
Renjun abstain, ia terpaku pada senyum Mark. Ternyata entitas di hadapannya bukan orang yang akan mengatakan jika Renjun adalah seorang pembunuh.
Renjun mengangguk, “mereka bilang aku harus mati.”
Mark mengernyitkan dahi, siapa gerangan manusia jahat yang mendesak Renjun untuk mati. Sedangkan, mereka bukan sang penentu takdir. Namun, untuk Renjun sendiri, apalbila bukan manusia yang mengatanya ... dapat Mark simpulkan bahwa, Renjun mengalami halusinasi.
“Kau melihat mereka?” Mark bertanya dengan suara yang begitu lembut, berusaha membuat nyaman sang pasien.
Renjun kembali menggeleng, pandangannya terkunci pada atap ruangan, jeda beberapa saat hingga ia kembali berucap, “hanya suara. Itu ... menyakitkan.”
Mark mengangguk. Kemudian menyerahkan sisanya kepada sang perawat. Dan segera membawa Lucas menuju ruangannya. Ia perlu membicarakan hal serius dengan Lucas.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
“Seperti yang aku katakan sebelumnya, Renjun mengidap gangguan depresi ... mayor.”
Lucas terdiam. Ia mengacak rambutnya, melampiaskan perasaan tak menentu dalam dirinya.
“Renjun mengalami halusinasi pendengaran. Dia mendengar suara yang mendesaknya untuk mati. Tapi, melihat dari luka Renjun. Ia sengaja melukai diri untuk mengembalikan kesadarannya ....” Mark menggantungkan kalimat, menatapi Lucas yang sedang menatapnya dengan serius seraya alis yang hampir menyatu.
“..., Dan, darah pada sekitaran bibir Renjun bukan karena Renjun memuntahkan darah. Renjun meminun darahnya sendiri.” Mark sedikit menelan ludah. Begitu terasa mengerikannya kondisi Renjun membuatnya sedikit tertekan, “itu yang bisa ku sampaikan.”
Lucas tersenyum kecut. Mendengar fakta adiknya dan penyakit yang diderita. Mengetahui fakta bahwa adiknya meminum darah—astaga, Renjun. Lucas terisak. Ia mengepalkan kedua tangannya diatas meja. Yang di saksikan oleh Mark sendiri.
Lucas mendongak, menatap Mark dengan pandangan yang seolah tidak pernah bisa di bantah oleh apapun.
“Bantu aku, Mark. Sembuhkan Renjun. Kau adalah Psikiater yang aku tunjuk untuk Renjun.”
Bersambung
Glosarium:
Terinspirasi dari materi semester 5 :)
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.