Naasnya, saat gelas tersebut telah ia genggam, ia tidak menemukan satu tetes pun air didalamnya. Renjun kalap. Ia haus, ingin minum. Tenggorokannya harus dibasahi. Ia tidak mau kehilangan fokus.
“Minum darahmu, Renjun!”
Detik setelahnya, dentingan piano terdengar, mengiri gelakan tawa dan suara-suara yang datang menghujamnya tadi.
Silence, Beethoven, symphony no.9
Suara itu begitu memilukan, Renjun menahan nafas beberapa saat, sampai rasa kering yang membakar mulai menjalar pada tenggorokan. Dirematnya gelas kosong tersebut dengan kuat; melampiaskan kekesalan dan rasa sakit yang tengah menyatu sejalur sejalan. Renjun mengayunkan gelas tersebut dengan sekuat tenaga hingga hancur berkeping-keping.
Ia memundurkan langkahnya, beberapa detik setelahnya, ia ambil langkah tergesa mendekati pecahan-pecahan gelas—meraupnya secara asal, mengacak-acaknya sampai menemukan pecahan yang paling besar dan paling lancip.
Netranya berbinar antusias seolah telah menemukan harta paling berharga. Tangan kanannya menggenggam pecahan gelas tersebut dan mengarahkannya pada telapak tangan kirinya. Membenamkan pecahan gelas secara brutal, menekannya hingga masuk lebih dalan. Dan ia lakukan kegiatan tersebut pada bagian yang lain dengan tempo yang sama buasnya.
Cairan merah kental mulai menetes hingga merambat melewati pergelangan tangan. Ia bawa telapak tangannya mendekati bibir dengan lidah yang telah terjulur. Bau amis pekat mulai merasuki indra penciuman, Renjun terus menjilati telapak tangan sampai pada pergelangan tangannya. Melampiaskan kehausan yang mendera. Mulut hingga piyama yang ia kenakan telah berlumuran darah.
Renjun menyematkan senyumnya, netranya kembali beredar was-was, suasana kamarnya begitu hening. Perasaan lega menginvasi. Senang rasanya ia tidak lagi mendengar suara-suara mengerikan itu.
Rasa ngilu hingga kebas mulai terasa pada telapak tangannya, Renjun melontarkan sebuah tawa dengan mulut yang masih berlumur darah. Tubuhnya jatuh berlutut di hadapan pecahan gelas dan tetesan-tetesan darah miliknya. Darah yang ia anggap sebagai kosakata untuk menyadarkan jiwanya yang sempat terenggut oleh pilu.
Tangisnya kembali pecah, Renjun meraung-raung dilantai dengan posisi yang sama. Meratapi dirinya yang begitu menderita, merasakan kesedihan hingga kesepian yang begitu mencekik.
Renjun malam ini begitu mengenaskan.
__________
Lucas menggendong Renjun seraya berlari menuju pintu masuk rumah sakit. Tubuh Renjun panas, wajahnya memucat, mulut dan tangannya masih meninggalkan sisa-sisa darah, tak melupakan bahwa Renjun masih mengenakan piyama dengan bercak darah mendominasi.
Sebelum melangkah masuk, langkah Lucas terhenti. Ia menatapi pemuda di hadapannya yang notabene adalah temannya sendiri. Menatapnya dengan tatapan yang tertuju sepenuhnya pada sang adik.
Di sela tangisnya, Lucas menggumam, “dia adikku. Renjun.”
Mark yang tengah fokus menatapi keadaan Renjun pun, mendongakkan kepala, menatap Lucas dengan nanar dan pandangan menuntut sebuah penjelasan.
“Bantu aku, Mark.”
“Bagaimana Renjun menjadi seperti itu?” lirihan Mark mendedah konversasi.
Lucas menggeleng, ia menunduk dalam. Meratapi kebodohannya yang membiarkan Renjun hidup sendiri di sela duka yang menimpa.
“Kekasihnya meninggal ....” jeda sejenak, Lucas menghembuskan nafas perlahan, “dan Renjun bahkan tidak diperbolehkan untuk menemui jasadnya. Perilaku macam apa itu?!”
ESTÁS LEYENDO
Aubade - Jaemren [End]
FanfictionDaksamu tampak rapuh, manis. Namun, umpatanmu menjelma lagak kidung nirmala, nuranimu pun gata, menyingkirkan harsa yang sempat kau pinang dengan riang. Kemana renjana yang sepatutnya membalut logikamu, manis? Masihkah eunoiamu yang bertalu dengan...
![Aubade - Jaemren [End]](https://img.wattpad.com/cover/243308201-64-k180354.jpg)