2| Masih Belum Reda

10 2 8
                                    

Apa kalian pernah bermimpi buruk yang sangat panjang? Panjang sekali hingga rasanya keinginan terbesarmu hanya bangun dan menagkhiri semuanya lalu bernapas dengan lega dan mengatakan 'untung saja hanya mimpi'. Itulah yang sekarang ingin kulakukan, bangun dari mimpi buruk yang panjang ini kemudian menghirup udara segar, lalu mengatakannya dengan penuh rasa bahagia. Kalau Tuhan mau melakukannya padaku saat ini, aku akan sangat bersyukur.

Tapi sayangnya itu tidak akan pernah terjadi untuk hidupku. Nyatanya, ini bukan mimpi buruk, berkali-kali bangun lalu tidur kembali untuk memastikan bahwa ini semua hanya mimpi sudah kulakukan. Semuanya terasa sama, bahkan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi 'pun sulit. Sudah kuduga akan semenyenyakitkan ini rasanya. Dulu, untuk membayangkan dia pergi saja aku tidak mampu. Sekarang aku harus menghadapi hal yang tidak pernah diinginkan. Dia hanya pergi dari hidupku, tapi kenapa rasanya sehancur ini.

Tertidur dengan tangisan lalu bangun kembali dengan tangisan yang sama bukan sesuatu yang harus dipertahankan 'kan? Tapi semua itu aku lakukan seminggu belakangan ini. Bersembunyi di balik selimut adalah cara paling aman untuk menghadapi kenyataan terburuk. Beberapa kali Isna--teman satu rumah kontrakanku--masuk untuk memberikanku makan atau sekedar memberitahu kalau Pranaja datang. Semuanya berakhir dengan jawaban diamku ini.

Aku sangat tahu kalau Isna bukan anak yang mau peduli banyak, tapi kali ini aku mendengar dia berulang kali masuk ke kamar. Walaupun kami satu rumah, tapi tidak banyak interaksi yang terjadi. Kami sepakat untuk tinggal berdua dalam satu rumah kontrakan yang berisi dua kamar ini. Persamaan kita adalah sama-sama anak rantau yang ingin menuntut ilmu di luar kota.

Aku yang lebih sering menghabiskan waktu di luar bersama Deffa dan kurasa Isna juga sering menghabiskan waktunya di luar, mungkin bersama teman-temannya. Entahlah, aku tidak terlalu ingin mengurusi urusan orang lain.

Pranaja Putra, biasa kupanggil Pran. Dia laki-laki yang dekat denganku selain Defffa, perannya cukup penting dalam hidupku. Banyak yang tertipu dengan Babyface-nya, walaupun wajahnya terlihat lucu dan tingginya tidak setinggi laki-laki yang kucintai, tapi percaya saja sebenarnya Pran dewasa.

Kalau tidak ada yang bersedia membuka gorden jendela di pagi hari atau menyalakan saklar lampu, mungkin kamar ini sudah bisa disebut gudang. Isna memang beberapa kali masuk kamar yang sebenarnya sudah tidak layak disebut kamar apalagi kamar perempuan. Kata Isna, Naja beberapa kali datang kerumah untuk menanyakan kondisiku saat ini. Mungkin hanya Pran teman terdekat yang kupunya, dia juga tahu banyak tentang hubunganku dengan Aldeffa Satria.

Sebeneranya Pran mempunyai banyak andil terhadap pertemuanku dengan Aldeffa. Tuhan, mengingat namanya saja sudah sesakit ini rasanya. Aku masih tidak percaya bahwa laki-laki yang sangat kucintai itu memintaku untuk pergi dari hidupnya, untuk berhenti mencintainya, untuk kembali hidup masing-masing. Jahat sekali dia, tapi sampai saat ini rasaku untuknya masih sama besarnya. Aku tidak bisa yakin bahwa dia juga masih memiliki rasa yang sama sepertiku, tapi melihat bagaiamana dia mulai tidak perduli, jelas mematahkan pemikiranku soal itu.

Biasanya Deffa mengirimiku pesan-pesan sederhana yang anehnya sangat kusuka. Sekedar menanyakan bagaimana hari ini, apakah ada hal sulit yang belum diselesaikan atau mau jajanan apa malam nanti? Sudah seminggu notifikasi itu tidak kutemukan seperti biasanya.

"Pran dateng lagi. Udah ngga ada stok alesan lagi, abis."

" .... "

Isna menarik selimut yang sedari tadi memeluk tubuhku dengan paksa. Tidak terlalu kasar, tapi bisa kubayangkan bagaimana wajah cantik tanpa senyumnya tengah melihatku dengan tajam. Harusnya Pran tidak perlu susah-susah mau bertemu dengan perempuan yang mungkin saja sudah tidak waras lagi. Aku merasakan sentuhan di tanganku, seperti jemari, rasanya hangat. Apa Isna peduli?

Nyanyian Hujan | On GoingOnde histórias criam vida. Descubra agora