True Love Comes From Family! (5)

Comincia dall'inizio
                                    

Sementara Ken masih berteriak kesakitan, Jack dengan angkuh mundur dari sana. Meraba lantai sampai menemukan rokoknya, lalu menyalakan benda itu. Cahaya dari korek membantunya sejenak melihat Ken yang sepertinya tak lagi mampu untuk bangun. Dalam hati, Jack merasa puas. Sangat menyedihkan.

Masih dalam kegelapan yang membutakan, dia mendengar Ken berdiri. Menarik napas kuat-kuat dan mengerang marah.

"Rrrraaaaghhh!" Ken melesat lagi. Jack sekali lagi salah mengira. Dia pikir Ken hanya akan memukulnya dengan payah, tetapi dia merasakan perih di dadanya. Sesuatu baru saja mengirisnya.

Barulah dia bisa melihat—setelah kilat berikutnya muncul lagi—Ken memegang kaca dari meja tadi. Darah tipis muncul di ujungnya. Sepertinya itu darah mereka berdua.

"Kau benar-benar membuatku muak! Aku akan membunuhmu sekarang!" Jack maju sampai mendorong Ken jatuh. Keduanya tak bisa melihat apapun, kecuali hanya mendaratkan pukulan masing-masing.

Ken tak sedikitpun melepaskan kaca di tangannya. Dia yakin telah merobek kulit ayahnya berkali-kali meski tahu tangannya juga ikut berdarah karena menggenggamnya terlalu kuat. Kilat menyambar sekali lagi, dan menemukan wajah ayahnya menegang dipenuhi cipratan darah.

Lalu ide itu muncul. Ide gila yang mungkin akan mengakhiri ini semua. Ken mengarahkan kaca tersebut untuk mengiris leher ayahnya. 

"Arrghhhhh!" Ayahnya berteriak, kekuatannya melemah. Namun, Ken tidak berhenti. Dia meraba lantai, memeriksa pecahan kaca yang lain.

Begitu menemukannya, dia menusukkan lagi benda itu, entah apapun sekarang, tetapi ayahnya benar-benar memekik kesakitan dan berhenti memukul. Ken akhirnya tahu benda itu menusuk tepat mata kanan ayahnya saat kilat datang lagi.

Ken tercengang, sejenak merasa jijik dan menyesal. Ketakutan menyelubungi. Dia baru saja menusuk mata ayahnya sampai berteriak kesakitan seperti halnya saat Ken berteriak karena terus dipukuli.

Namun, berikutnya dia merasa puas. Ini adalah saatnya. Dia mengambil lagi satu kaca dan berlari maju. Mendorong ayahnya sampai jatuh. Kemudian mengangkat tinggi kaca itu.

"Kau ayah sialan!" dan menusukkan kaca itu ke dada ayahnya. "Kau ayah sialan! Kau ayah sialan!"

Ken berkali-kali mengucapkannya dengan lantang setiap menusukkan kaca tersebut. Dia sendiri bahkan tak menghitung, dan di tusukan terakhir kaca itu dibiarkan menancap.

Hanya ada dua suara yang terdengar, badai yang masih mengamuk di luar dan napas berat Ken. Selama beberapa menit tidak terjadi apapun. Sebelum cahaya kembali menerangi. Listrik sudah menyala meski masih hujan.

Saat itulah Ken bisa melihat akibat dari perbuatannya. Telapak tangannya merah karena darah, sedikit lagi memenuhi seluruh lengannya. Dengan gugup Ken menatap ayahnya. Kaca menusuk leher, dada, dan mata kanannya. Tubuhnya dipenuhi lubang, dan darah yang keluar telah menggenanginya.

"Hehe ... hahaha ... hahahaha!" Lalu Ken tertawa. Tawa yang begitu keras-keras sampai-sampai mampu menyamai derasnya hujan.

Namun, dalam beberapa detik dia menangis. Air matanya mengalir, tetapi Ken tak ingin mengusapnya. Dia membiarkannya jatuh. Ken masih di tempatnya, tak berpindah selama beberapa menit berikutnya.

***

Ponsel Ken sudah rusak, dan sempat kesulitan menemukan ponsel ayahnya yang ternyata disimpan di saku celana. Ken tidak lupa alasan mengapa harus membunuh ayahnya. Meski gemetar, Ken berhasil menghubungi nomor telepon dari kartu nama pria aneh di rumah sakit tadi.

Nada hubung terasa lebih lambat, dada Ken juga berdegup lebih cepat. Ayahnya sudah tewas, dan sekarang Ken akan mengatakan lewat telepon kalau tugasnya sudah selesai.

"Halo?" Akhirnya ada yang mengangkat. "Halo?" Hanya saja Ken tak menjawab.

"Aku akan tutup."

"Tunggu," teriak Ken, lalu menutup mulut seakan menyesal.

"Jadi ada orang. Siapa ini? Ada yang bisa aku bantu?"

"I–Ini aku. Ken Jackson. Aku yang kau ajak bicara di rumah sakit dan aku sudah melakukan yang kau minta," ucap Ken gugup.

"Ken? Maaf, siapa Ken?"

Mata Ken melebar panik. "Aku—kau bilang akan membayar biaya rumah sakit adikku kalau—"

"Rumah sakit? Apa maksudnya ini? Apa ini bercanda?" Nada kebingungan yang terdengar semakin membuatnya resah. Apa ini artinya dia baru saja ditipu? "Maaf, akan kututup."

"Tapi aku—" Panggilan benar-benar ditutup. Dengan kesal Ken membanting ponsel tersebut ke lantai.

Napasnya jadi memburu sekali lagi. Ini tidak mungkin terjadi, ini tidak mungkin terjadi. Ken baru saja ditipu. Ken baru saja membunuh ayahnya sendiri karena seseorang mengatakan kalau dia bersedia membayar biaya rumah sakit adiknya. Ken baru sadar kalau tawaran itu memang tidak masuk akal dan begitu bodohnya Ken percaya.

Dalam kebingungan, ponsel yang sudah retak layarnya itu berdering lagi. Masih nomor asing. Mungkin kali ini adalah teman ayahnya, tetapi Ken tetap mengangkatnya.

"Halo?"

"Jadi kau sudah membunuh ayahmu?"

Ken sontak kaget. Ia melihat lagi ke layar, dan memastikan kalau nomornya berbeda dengan yang ada di kartu nama.

"Jangan khawatir. 15 menit lagi aku akan ke rumahmu dan—" panggilan itu terputus dengan sendirinya.

Ken menatap layar tanpa berkedip. Apa yang sebenarnya terjadi? Petir datang sekali lagi, tetapi suaranya seakan tak terdengar bagi Ken. Selama lima belas menit berikutnya dia hanya duduk terdiam, menunggu untuk memastikan apakah pria itu benar-benar datang.

Seseorang mengetuk pintu setelah dua puluh menit. Ken terkejut saat itu, tetapi mendengar ketukan selanjutnya membuat Ken segera berlari dan membuka pintu.

Dilihatnya pria yang sama, dengan rambut kuning dan tas koper hitam. Kali ini dia nampak lebih kurus dengan jas hujan itu, tidak seperti saat di rumah sakit. Pria itu tersenyum sebelum melihat Ken dengan penampilannya yang kacau.

"Halo—wow! Bajumu ... tampak ...." Ken juga baru sadar kalau sekujur tubuhnya masih dipenuhi darah yang mulai mengering. "Kau beruntung aku yang datang pertama. Bagaimana kalau itu tetanggamu atau temanmu? Bahkan lebih buruk, bagaimana kalau polisi datang kemari?"

Ken mengabaikannya, dan menanyakan sesuatu yang lebih penting. "Apa itu kau?"

"Ya, ini aku." Tak ada lagi kacamata hitam, jadi Ken bisa melihat iris biru terang dari mata sipit  yang ramah itu. Senyumannya dihiasi dengan lesung. Sikapnya tenang seakan tak ada pembunuhan yang baru saja terjadi.

"Namaku Nen. Nen Shigihara. Senang akhirnya kita bisa bertemu lagi secepat ini, Ken," sambungnya memperkenalkan diri.

You Just Met The Wrong PersonDove le storie prendono vita. Scoprilo ora