Redamancy - 5

2.3K 62 0
                                    

Jasmine POV

Mulutku menganga lebar menatap kearah pantulan diriku sendiri, di cermin extra besar yang berada di satu – satunya toilet wanita di lantai teratas gedung ini. Demi apapun, ini pertama kalinya aku memakai pakaian indah yang super duper terasa nyaman seperti ini.

Gaun malam ini, gaun malam terindah yang pernah aku kenakan. Jika dinilai dari bahannya yang menempel pas di tubuhku, maka perkiraan dalam otakku bahwa harganya di luar akal sehat tidak akan salah. Warnanya sungguh indah. Hitam pekat yang memabukkan tanpa tambahan aksen apapun. Bahkan yang polos seperti ini saja, sudah terlihat sangat indah.

Selain gaun, juga sudah disiapkan sepasang sepatu yang terlihat begitu serasi dari brand kenamaan yang pastinya juga memiliki harga fantastis, dan jujur saja, ini adalah pakaian terbaik yang pernah kukenakan.

Sebenarnya, tak ada celah yang bisa membuatku protes pada gaun ini. Dimulai dari warna, bahan dan tingkat jahitannya yang benar - benar rapi. Satu saja yang aku sayangkan, adalah belahan yang menjalar dari kaki hingga setengah pahaku, yang akan terbuka setiap kali aku berjalan. Itu saja. Hanya itu yang membuatku sedikit ragu untuk mengenakannya malam ini.

Ini terlalu seksi.

Ponselku berdering singkat. Nama 'Big Boss' tertera di layarnya. Kudekatkan telingaku, demi mendengar intruksinya dengan jelas, tapi kemudian sekonyong – konyongnya aku menjauhkan benda pipih tersebut. Ia berteriak menyuruhku agar segera keluar karena sudah lebih dari tiga puluh menit ia menungguku bersiap atau dia akan menyeret paksa diriku dari sini.

Dasar pria arogan ! teriakku kesal dalam hati. Apa dia tidak tahu kalau wanita memerlukan waktu sedikit lebih lama dari pria untuk bersiap. Apa dia tidak tahu betapa terkejutnya aku saat ia mengatakan akan membawaku ke pesta dan hanya memberikan waktu tiga puluh menit untuk bersiap?

Tak ingin mendapatkan teriakan lainnya, aku segera merapikan peralatan riasku dengan cepat kemudian segera turun ke basement. Tempat parkir pribadi miliknya dengan menggunakan lift khusus di depan ruangan CEO. Aku berjalan menuju satu – satunya mobil yang terparkir rapi disana.

Aku melihatnya sedang bersandar di sebelah mobil sport dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana bahannya. Kemejanya berwarna senada dengan gaun yang kukenakan saat ini, dengan dua kancing atasnya yang dibiarkan terbuka, menampilkan tato bergambar naga di kedua dadanya. Kedua lengannya tergulung rapi, juga menampilkan rentetan gambar yang menghiasi seluruh lengannya.

Ya, bos-ku adalah salah satu dari sekian banyak pecinta tatto. Mulai dari punggung, dada, dan lengannya dihias gambar aneka karakter, kebanyakan terlihat seperti abstrak dengan warna hitam yang mendominasi. Tak ada yang tahu mengenai hal ini, kecuali mungkin, mereka yang pernah tidur bersama dengannya.

Aku? Aku mengetahuinya sebulan yang lalu, ketika aku menyiapkan keperluan kantornya pagi itu, dan secara tidak sengaja melihatnya baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.

Dilihat sekilas dari penampilan kami malam ini, aku yakin orang – orang diluar sana akan beranggapan bahwa kami adalah sepasang kekasih. Padahal kenyataannya bukan, mana mau orang sepertinya berhubungan seperti itu dengan aku yang biasa - biasa saja. 'Oh Jasmine, hentikan pikiranmu yang melantur.' Batinku mencoba memperingati diri sendiri.

Dia masih sama, berdiri dalam diam. Hampir seperti orang yang tidak menyadari bahwa saat ini aku sudah berada tepat dihadapannya. Matanya masih mengamati dari atas hingga ujung kakiku. Mungkin menilai penampilanku. Berpikir perlukah ia membatalkan rencananya mengajakku ke pesta yang ia maksud karena penampilanku yang terlihat aneh atau sebagainya malam ini.

"S-Sir." kataku hati – hati. Tak ingin membuatnya marah karena pikirannya aku iterupsi. Biasanya ia paling tidak suka diganggu saat sedang melamun dan memikirkan sesuatu, tapi aku perlu kepastian apakah rencana pergi malam ini jadi atau tidak. Karena jika tidak, aku akan dengan senang hati kembali ke apartemenku dan menikmati waktu liburku sampai besok malam.

"Masuk!" katanya singkat. Sangat ketus seperti biasa. Aku tidak tersinggung, aku sudah terbiasa meladeni suasana hatinya yang seperti remaja labil ini, dan memang harus terbiasa jika ingin tetap bekerja dibawah naungan perusahaan ini. Jadi apapun itu, akan aku hadapi.

Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut kami selama perjalanan, yang aku tahu, kami sampai di tempat yang ia maksudkan setelah sekitar dua puluh menit berikutnya, atau mungkin lebih, aku tidak begitu menyadari karena sibuk menikmati udara malam yang berhembus lewat kaca yang terbuka.

"Ini pesta pertunangan sahabatku. Jadi apapun yang nanti terjadi, diam dan turuti saja perintahku. Mengerti?" katanya saat mulutku dengan noraknya terbuka sedikit lebar melihat pemandangan di depan sana. Sebuah mansion mungkin empat atau lima lantai jika basement – nya ikut dalam hitungan, kelewat megah dan besar. Ditambah dengan dekorasi yang menurutku, apa istilahnya. Pemborosan? Entahlah, yang jelas bukan jenis dekorasi sederhana seperti pesta pertunangan Daisy sahabatku di Bedfordshire.

"Baik Sir." jawabku singkat, tak ingin mendebat perintahnya. Toh, aku hanya akan menemaninya selama yang ia inginkan, lalu aku akan bebas untuk beberapa jam dan menikmati waktuku sendiri.

"Panggil aku Edward, Jasmine." katanya lagi. Tangannya secara otomatis menarik pinggangku, dan melingkarinya dengan sedikit posesif, begitu kami turun dari mobil. Aku merasakan debar jantungku dua kali lipat lebih keras dari biasanya, dan kuharap ia tak mendengarnya.

"Ba...Baik Edward." balasku terbata – bata. Sementara kulihat ia mengedipkan sebelah matanya seraya tersenyum manis, jenis senyuman yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku tak yakin apa yang membuatnya seperti ini, tapi yang jelas, ini pertama kalinya aku melihat ia tersenyum dan itu membuatku sedikit lega.

Aku katakan lega karena aku merasa beruntung bisa menikmati momen langka ini. Ia sangat jarang tersenyum, bahkan hampir tak pernah aku melihatnya tersenyum, dan itu melegakan saat terjadi, karena berarti masih ada sisa - sisa kemanusiaan yang menempel pada dirinya.

Kami berkeliling, tepatnya Edward menarikku berkeliling, menyapa beberapa kenalan dan beberapa klien yang pernah kami temui sebelumnya, dengan tangannya yang masih setia merangkulku dengan erat. Tangannya tak beranjak sedikitpun dari pinganggku, dan itu membuatku harus tetap menahan diri dan mengatur napasku.

"Oh Ed... kau datang kawan!" sapa seorang laki – laki dengan wajahnya tak kalah tampan dari bosku ini. Wajah eropanya begitu khas dengan rahang tegas dan kulit pucat serta iris berwarna biru cerah yang memabukkan. Mereka saling berpelukan dan berjabat tangan dengan heboh, mengabaikan keberadaanku untuk beberapa saat.

Sepertinya orang ini adalah sahabat yang dia jelaskan diawal. Jika dinilai dari bagaimana hebohnya mereka sekarang, aku yakin pertemanan mereka bukanlah jenis pertemanan kemarin sore, yang bisa dengan mudah di rusak oleh orang luar.

"Kenalkan, ini Jasmine. Kekasihku. Honey, ini Leonel sahabat kecilku." kata Edward, seraya menarik kembali pinggangku dalam dekapannya, kembali dengan senyum manisnya yang begitu mempesona.

Tunggu, tadi Edward memperkenalkanku sebagai apa? Kekasihnya? Oh My... demi apapun otakku berhenti bekerja saat ini. Aku menggeleng kecil, berusaha kembali pada kenyataan bahwa itu adalah permainan kecil yang ia lakukan di depan sahabatnya. Mungkin ini juga maksud dari perkataannya tentang aku yang cukup menurut saja selama pesta berlangsung.

Aku terperangah saat Leonel menyalami tanganku dengan ramah dan hangat, membawaku kembali pada kenyataan. Aku balas memberikan ucapan selamat atas pertunangannya. Kami berbasa basi sebentar.

Edward terlihat begitu antusias dengan pembicaraan mereka, dan ini pertama kalinya juga aku melihatnya begitu lepas, seperti melepas topeng yang selama ini ia kenakan.

Setidaknya, ini menunjukkan bahwa ia tetaplah seorang manusia biasa yang perlu dan tetap bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Meskipun aku sangat amat jarang melihat itu. Alasan besarnya adalah pekerjaan, dimana kami menghabiskan rata - rata sekitar 15 - 18 jam sehari dan itu adalah waktu normal yang kami berdua habiskan untuk urusan kantor.

Tapi hari ini, ia terlihat sangat manusiawi dengan senyum yang manis dan sikapnya yang santai bersama Leonel.

The RedamancyWhere stories live. Discover now