2

4 1 0
                                    

Aku membuka mata secara perlahan dan mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Tempat ini terasa familiar. Aku berada di Unit Kesehatan.

“Na,” panggil seseorang. Aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati Alesha yang tersenyum ke arahku.

“Kenapa ... kenapa gue ada di sini?” tanyaku.

“Tadi lo pingsan,” jawab Alesha seraya melihat ke arah yang tidak beraturan.

“Kok bisa? Tadi pagi kan gue udah sarapan. Selain itu, hal terakhir yang gue inget adalah kita lagi makan di kantin, aneh banget. Masa gue tiba-tiba pingsan,” ucapku. Memang hanya itu yang bisa kuingat dengan jelas.

“Ya gue juga enggak tau, Na. Tadi gue cuman nunjukin ini,” ucapnya seraya mengeluarkan pisau lipat dari tasnya.

Seketika bayangan-bayangan masa lalu itu menghampiriku lagi. Pandanganku mulai kabur dan semuanya menjadi gelap.

Ketika aku terbangun, aku berada di situasi yang berbeda. Aku berada di hutan. Tiba-tiba aku mendengar suara jeritan anak kecil. Aku berbalik dan mendapati seorang gadis sedang meronta-ronta karena dipegangi oleh tiga laki-laki dewasa.

Dia hendak menggendongnya, namun dia tampak kesulitan karena gadis itu terus meronta. Dengan gerakan yang cepat, salah satu dari mereka mengeluarkan pisau dan menusukkan benda tajam itu pada perut si gadis.

Darah mulai bercucuran dari perut gadis itu. Wajah mereka terlihat panik. Mereka meletakkan gadis itu dan berlari ke arah yang berlawanan.

“Na,” panggil sebuah suara.

Aku mencium aroma minyak kayu putih, aku juga merasakan ada sebuah tangan yang memijat-mijat dahiku. Perlahan kesadaranku pulih kembali.

“Maafin gue, Na. Gue bodoh banget, gue tau penyebab lo pingsan. Tapi gue malah nunjukin pisau itu lagi,” ucap Alesha dengan nada bersalah.

“Gapapa, Sha. Lo kan enggak sengaja,” ucapku.

“Lo udah baik-baik aja kan. Kita masih ada matkul abis ini,” ucap Alesha.

“Iya udah,” ucapku seraya turun dari meja periksa.

Aku dan Alesha melanjutkan kuliah sampai sore. Setelah semuanya selesai kami kembali bertemu di depan kampus.

“Na, gue mau nanya sama lo. Kok lo bisa pingsan pas liat pisau sih. Lo takut sama pisau?” tanya Alesha.

Aku terdiam sejenak. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, selama ini aku selalu menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Namun apa salahnya jika aku menceritakan hal ini pada Alesha. Dia sudah lama menjadi sahabatku.

“Sha, sebenarnya gue itu bukan anak tunggal. Gue punya adek yang umurnya cuman beda satu tahun sama gue. Walaupun begitu, gue tetap dituntut untuk menjadi kakak yang baik untuk dia. Dia selalu di manja, sedangkan gue ... gue dijadikan anak yang harus selalu ngalah. Hal itu benar-benar bikin gue iri. Waktu umur 7 tahun, gue ngajak dia pergi ke hutan...,” ucapku. Ketika melihat motor Kak Gilang sudah dekat aku segera menutup mulut. Biarlah aku menyelesaikan cerita ini lewat telepon nanti. Aku tidak mau jika ada orang yang lain yang mengetahui hal ini.

Motor itu berhenti di depan kami berdua. Si pengendara itu membuka helm dan memperlihatkan wajahnya yang tampan.

“Sorry lama, tadi abis ...,” ucap Kak Gilang yang terpotong oleh Alesha.

“Bodo amat, enggak usah cerita. Yang penting sekarang abang di sini,” ucapnya.

“Yaudah ayo,” ajaknya.

“Bentar,” ucap Alesha. Dia menatapku dan mengingatkan agar aku melanjutkan cerita itu lewat telpon. Aku mengiyakan dan mendapatkan senyuman darinya.

“Kalau gitu gue pulang dulu ya,” ucap Alesha seraya menaiki motor. Kak Gilang kembali menggunakan helmnya.

Ketika motor mereka telah pergi aku berjalan ke arah cafe tempatku bekerja paruh waktu. Orang tuaku hanya memfasilitasi tempat tidur. Dia tidak memberikanku uang untuk kuliah. Beruntunglah aku mendapatkan beasiswa. Namun, tetap saja. Aku masih membutuhkan tambahan uang untuk kebutuhan sehari-hariku.

Seperti biasa, aku pulang bekerja pukul setengah sepuluh pas. Aku masuk menggunakan kunci yang selalu kubawa dan segera pergi ke kamarku yang ada di lantai atas.

Aku segera mandi dan duduk di balkon. Apa kau berpikir bahwa aku berasal dari keluarga kaya? Ya, aku memang dari keluarga berada. Namun, aku tidak pernah merasakan dimanja oleh uang ataupun kasih sayang.

Ponselku berbunyi secara tiba-tiba. Aku segera mengambil ponsel itu dan menatap layar, ada nama ‘Alesha’ yang tertera di sana.

Aku segera mengangkat telepon dan menyapanya.

“Udah pulang, Na,” ucap Alesha.

“Iya udah,” ucapku.

Ketika mendengar suara langkah kaki, aku segera mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam saku piamaku. Aku kembali ke dalam kamar dan mendapati ibu membuka pintu dengan keras.

“Dari mana saja kamu? Setiap hari pulang malam terus! Kamu enggak pernah mikirin orang tua apa. Setiap hari, tetangga kita ngomongin kamu yang selalu pulang malem,” cercanya.

“Maaf, Bu,” lirihku.

“Maaf maaf, dasar anak enggak tau diri! Kalau besok kamu masih pulang malam. Pergi dari sini, lagipula kamu juga enggak berguna. Lulus sekolah bukannya kerja buat bantu orang tua, malah kuliah dan ngabisin uang,” ucapnya.

“Bu, aku kuliah pakai uang sendiri! Aku enggak pernah minta uang sama ibu,” ucapku.

Ibu mengangkat tangannya dan mendaratkan sebuah tamparan keras di pipiku. Aku tidak merasakan sakit, hal itu sudah biasa bagiku. Sejak usia 7 tahun, hal itu bagaikan kegiatan rutin yang selalu dilakukan ibu.

“Kurang ajar! Di mana sopan santun kamu?” ucapnya. “Saat kuliah kamu memang tidak meminta uang. Tapi dari bayi sampai SMA, siapa yang membiayai kamu hah?”

Ibu menjambak rambutku dan melanjutkan perkataannya.

“Dengar ya, kalau kamu masih mau tinggal di sini. Ikuti aturan di sini,” ucap ibu.

“Iya, Bu,” ucapku.

Ibu menghempaskan kepalaku dengan kasar. Mataku memanas, ingin rasanya aku menangis di hadapan ibu. Namun, hal itu hanya akan memperburuk keadaan. Jika aku menangis maka ibu akan menamparku seraya mengatakan ‘Kalau orang tua ngomong tuh didengerin, bukan malah nangis.’

Aku menatap ibu, wajahnya masih menampakkan amarah yang sangat besar. Dia keluar dari kamar dan menutup pintu dengan keras.

Dulu, ayah dan ibu amat menyayangiku. Semua yang kuminta selalu diberikan. Walaupun aku harus berbagi dengan adikku. Tapi setidaknya, dulu ibu tidak pernah memperlakukanku dengan kasar.

Aku mengelarkan ponsel dan menelpon Alesha. Alesha sangat mengerti keadaanku, jika aku mematikan telpon secara tiba-tiba. Dia tidak akan menelpon lagi sebelum aku menelpon balik.

“Halo, Sha,” sapaku.

“Halo. Abis dari mana, Bu?” tanyanya.

“Ada urusan sebantar,” jawabku seraya duduk di ranjang.

“Bisa aja nyari alasannya,” ucapnya. “Yaudah, lanjutin cerita yang tadi, Na.”

Aku menarik nafas dan menatap ke sekeliling. Aku takut jika tiba-tiba ibu datang dan mendengarkan pembicaraan kami. Sayangnya, Alesha tidak menyukai orang yang tidak bisa memegang ucapannya sendiri. Mau tidak mau aku harus melanjutkan cerita itu.

***

HOLA JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN KASIH KRISAR

SALAM HANGAT

HabitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang