Ken merasakan semuanya berubah. Entah mengapa sekarang menjadi lebih hangat.

"Terima kasih, Sean. Terima kasih."

***

Murid-murid di Ischar High membenci Sains. Kimia atau Fisika, keduanya tidak jauh berbeda. Kimia mungkin masih lebih baik karena gurunya tidak begitu kaku ataupun ramah pada muridnya.

Namun, Fisika berbeda. Guru yang tidak menyenangkan. Murid-murid seakan terpaksa mengikuti kelas tanpa ada semangat sama sekali hanya agar mereka bisa lulus dengan nilai standar.

Guru laki-laki itu sepertinya juga tidak sadar kalau cara mengajarnya begitu membosankan pagi ini. Bahkan yang duduk di kursi paling depan tak menahan diri untuk menguap.

"Seperti yang dijelaskan. Cahaya mempunyai beberapa sifat dan salah satunya adalah--"

Penjelasannya kemudian terhenti begitu pintu kelas tiba-tiba terbuka. Semua kepala menoleh, dan mendapati seorang murid bertopi merah muda dengan napas terengah-engah.

"Maaf ... aku terlambat."

"Ah ... selamat datang di kelas Fisika-ku, Tuan ...."

"Ken. Ken Jackson, Pak," jawabnya.

"Tuan Jackson. Bukannya kau murid baru itu? Apa terlambat adalah caramu di sekolah yang lama?" Guru itu terdengar tenang, tetapi juga begitu menekan.

"Maafkan aku. Mobilku, maksudnya ...."

"Sampaikan alasanmu itu nanti." Pria itu menarik sebuah kertas dan menuliskan beberapa kata, kemudian memberikannya pada Ken. "Sekarang ada ruang detensi yang menunggumu. Jadi selamat bersenang-senang."

Ken hanya mendesau sebelum akhirnya tempat itu menuju ruang detensi yang diminta. Namun, sebelum itu murid-murid di dalam kelas justru menyadari ada sesuatu yang aneh pada Ken.

"Kau melihat wajahnya? Kurasa dia habis berkelahi."
"Ya. Dia juga tidak masuk sekolah kemarin."

Sementara Ken dalam perjalanan hanya bisa merasa pasrah. Dia terlambat bangun pagi ini, semua karena tenaganya yang belum benar-benar pulih. Ayahku memukulku sampai babak belur, ingin saja Ken mengatakan itu tadi agar dapat menjadi alasan yang bagus. Adiknya juga terlambat, Ken hanya berharap Sean mendapatkan nasib yang lebih baik.

Sampai Ken tiba di ruang detensi. Tak ada staf di dalam sana, hanya ada murid perempuan lainnya yang sedang menjalani hukuman. Sebelumnya gadis itu sedang menulis sesuatu sebelum kemudian menyadari pintu yang terbuka.

"Ken?"

Dia tidak asing dengan cewek itu. Ingatan Ken berputar untuk sejenak. "Lucy, bukan? Kau juga terlambat?"

"Ya," jawab Lucy sambil mendesau pendek. "Kalau boleh kukatakan, ini sangat tidak adil. Saudara tiriku juga terlambat dan dia masih bisa masuk. Sementara aku berakhir di sini dengan tugas Fisika yang membosankan."

"Jadi kau juga kelas Fisika pagi ini?" tanya Ken mengambil duduk di sampingnya. Lucy menoleh setengah terkejut, menyadari mereka berdua berakhir di ruangan detensi karena guru yang sama.

Lucy tersenyum dengan lega, entah mengapa lebih tenang rasanya jika memiliki masalah yang sama seperti orang lain. Namun, segera sudut bibir itu turun saat ikut menyadari bekas luka di wajah Ken. "Ada apa dengan wajahmu?"

Ken sudah tahu ini akan terjadi. Dia tidak akan mungkin bisa menyembunyikan bekas luka yang begitu jelas di sudut bibirnya itu.

"Ouh ini ...." Ken meneguk ludahnya. Memikirkan jawaban apa yang akan bagus. Dia tidak bisa jujur. Dia pernah jujur sebelumnya dan orang-orang tidak percaya, dan justru berakhir lebih buruk.

"Bukan apa-apa."

"Sungguh? Shiro bilang kau tidak ke sekolah kemarin. Apa itu ada hubungannya dengan wajahmu?"

Pikiran Ken kembali melayang di malam itu. Saat menemukan ibunya yang tewas di dalam bak mandi. Kepalanya berdetak seakan ingin pecah semakin lama Ken membayangkannya. Belum lagi setelah penyiksaan ayahnya. Kaki dan tangan Ken bergetar mengingat keduanya.

"Sungguh, bukan apa-apa," jawabnya dengan suara lemah.

Namun, Lucy tahu betul ada sesuatu yang salah, tetapi lebih baik membiarkannya saja untuk sekarang. "Baiklah kalau begitu."

Mereka akhirnya terdiam, melanjutkan urusan masing-masing dengan tugas Fisika yang diberikan. Namun, benar kata Lucy. Ken--walau bisa menjawabnya--segera merasa bosan. Tak ada staf yang berjaga, entah ke mana dia. Memanfaatkan hal tersebut Ken memutuskan untuk berbicara saja dengan Lucy, walau sebenarnya dilarang untuk berinteraksi di ruang detensi.

"Jadi kau punya kakak tiri?"

"Ya. Namanya Rick," jawab Lucy masih menuliskan jawabannya di kertas. "Ayahku menikah dengan ibunya."

"Dan kalian berdua akrab?" Lucy sontak menoleh. Tatapannya yang menajam dengan aneh membuat Ken jadi gugup. "Maaf. Lupakan saja pertanyaan bodohku itu."

Tak lama Lucy justru tertawa. "Tenanglah, aku hanya mengerjaimu." Merasa lega, Ken ikut tertawa pelan.

Lucy berdehem sebelum bercerita. "Yah ... ketika ayahku menikah dan tahu pacarnya punya seorang anak laki-laki, kupikir juga tidak akan berjalan lancar, tapi Rick orang yang menyenangkan. Lagi pula, ibuku sekarang adalah pemilik restoran mie yang lezat."

"Keluargamu terdengar luar biasa."

"Ya. Kupikir juga begitu," balas Lucy. "Bagaimana denganmu?"

Ken terdiam sejenak. Kepalanya menunduk dan terisi kembali dengan hal yang sama. Ibunya, ayahnya. Bagaimana Ken akan menjawabnya? Namun, kalau dia terdiam Lucy pasti akan menyadari ada yang salah.

"Aku ... punya seorang adik," jawabannya terdengar kaku. Sepertinya Lucy tidak sadar kali ini.

"Lalu bagaimana dengan orang tuamu?"

Ken tidak menyukai ini. Sekarang dia menyesal sudah bertanya ke Lucy di awal. Ken sampai menggigit lidahnya hanya untuk berpikir harus mengatakan apa.

"Ibuku ... dia baik. Ayahku ... dia kuat. Aku ...." Tangannya bergetar lagi, buru-buru Ken menahannya sebelum Lucy melihatnya. "Kurasa keluargaku tidak semenarik keluargamu."

"Jangan begitu. Aku yakin keluargamu sempurna."

Ken berusaha membuat tawa. Sekarang yang ada di kepalanya hanya ada ibu dan ayahnya. Siapa yang harus Ken bohongi. Dia memang tidak akan bisa melupakan mereka berdua walau Ken mau.

Seorang staf kemudian masuk, duduk di tempatnya begitu saja seakan tidak peduli dengan dua orang lain di dalam sana. Suasana akhirnya jadi benar-benar hening, tetapi berbeda dengan Ken, dia mendengarkan keributan. Hanya dia.

You Just Met The Wrong PersonWhere stories live. Discover now