4. APA LAGI INI?

Mulai dari awal
                                    

Helaan napas Tombak membuat Aira tertawa senang.

.

.

"Aku berat, ya?"

Tombak sedikit terkekeh mendengar pertanyaan ragu istrinya.

"Tombak ih!" Aira memukul punggung Tombak. "Kamu ngayuh pelan banget. Kalau berat mending aku jalan aja."

"Aku ngayuh pelan karena jalanannya nggak rata. Kenapa nggak pernah cerita soal ini sih? Sepeda kamu nggak cocok untuk medan seperti ini."

Aira merapatkan pelukannya di perut Tombak. "Kamu khawatir, ya?"

Hanya helaan napas berat yang Tombak sampaikan. Benar-benar Aira ini. Jika saja mereka di rumah, mungkin Tombak bisa berbuat lebih karena gemas dengan pertanyaan polos namun memancing dari perempuan itu.

Mereka akhirnya sampai di titik di mana Aira beristirahat. Untuk sejenak Tombak tertegun memandang pemandangan yang terbentang di hadapannya. Dari titik bukit ini, gunung yang ada di belakang rumahnya nampak jauh lebih megah dan indah. Sawah hijau yang membentang luas di lereng bukit turut mempercantik pemandangan itu. Lalu itu semua semakin lengkap karena semilir angin sejuk dan gemerisik suara angin menabrak dedaunan yang terdengar menenangkan di sana.

"Pantas kamu betah di sini, Ra," celetuk Tombak tiba-tiba.

Aira tersenyum. "Kencan kita selanjutnya di sini saja, ya? Kita bawa tikar dan makanan yang banyak. Kita piknik dari siang sampai matahari terbenam."

Tombak menoleh istrinya lembut, lalu mengangguk.

Senyum Aira melebar. Ia pun memeluk lengan Tombak senang. "Terima kasih. Kamu tahu? Itu salah satu keinginanku sejak pertama menemukan tempat ini."

"Apa perlu sekalian kita camping di sini?"

"Hahahaha... nggak perluuuu. Di sini pasti dingin banget kalau malam."

"Ada aku."

"Iiihh... apa sih kamu ini? Hahahaha, nggak cocok, Tombak."

Tawa Aira pun menjadi penutup satu momen berharga lagi yang tercipta di antara pasangan suami istri itu.

***

Lagi-lagi fokus Aira terdistraksi layar ponsel Tombak yang menyala tanpa suara di atas meja makan. Dari tempatnya duduk, Aira bisa membaca nama yang tertera di sana adalah 'Gembul'. Sahabat Tombak itu mungkin sudah puluhan kali menelepon suaminya, namun Tombak nampak acuh dan malah semakin lahap menyantap sarapan yang ia siapkan sejak subuh tadi.

"Tombak, Mas Gembul telepon kamu berkali-kali." Ujung-ujungnya Aira pun tak tahan mengatakan hal ini.

"Hm." Tombak meraih ponselnya, namun untuk membalik layar benda hitam itu menghadap meja.

"Nggak kamu angkat dulu? Siapa tahu penting?"

"Pasti bukan hal yang penting."

Aira memilih tak melanjutkan obrolan. Toh Tombak juga sudah membalik ponselnya, tak ada lagi hal yang bisa membuatnya terdistraksi.

Setelah sarapan sepasang suami istri itu berakhir, Aira mengantar keberangkatan Tombak sampai halaman rumah. Pagi ini Tombak akan melakukan perjalanan keluar kota selama dua hari untuk keperluan bisnis perkebunan.

"Pak Herman nggak ikut?" tanya Aira saat menyadari tak ada orang lagi selain ia dan Tombak.

"Kami pecah tujuan. Pak Herman sudah berangkat ke kota lain sejak kemarin."

"Oh..."

Tombak meletakkan tasnya di kursi belakang sebelum berdiri di depan istrinya. Pria itu meraih tengkuk Aira dan membawa bibir perempuan itu ke dalam kecupan yang lama dan dalam. "Mau dibawakan apa?" tanya Tombak setelah menyudahi kecupannya.

BERTEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang