Awal segalanya

4.8K 362 64
                                    

“Udah, biar Adek aja yang nyuci piringnya, Kak,” kata Adek saat aku mengangkut beberapa piring kotor bekas makan malam.

“Nggak papa, kita nyuci bareng-bareng aja ya.”

Senyum manis itu mengembang lebar di wajah Adek, dia terlihat sangat gembira dengan tawaranku. Selama ini dia memang terbiasa melakukan semuanya sendiri.

“Salman emang jarang pulang ya, Dek?” Tanyaku membuka obrolan. “Kayanya Kak Muthi hampir tiga minggu di rumah, Salman cuma balik sekali. Dia kemana sih?”

“Bang Salman sibuk skripsi, Kak. Lebih banyak nginep di rumah temennya di Tangerang.”

“Emangnya nggak bisa ngerjain skripsi di rumah?”

Dia hanya mengangkat bahu singkat namun tak ada jawaban pasti yang keluar. Ini membuatku sedikit kesal pada Salman. Bisa-bisanya dia meninggalkan Adek sendirian meski dia menggunakan skripsi sebagai alasan. Pantas saja kalau aku pulang liburan dia tak ada di rumah. Ternyata dia memang jarang pulang.

Meski demikian, sepertinya Adek tak begitu mempermasalahkan hal itu. Dia bahkan tersenyum tanpa beban saat menceritakan Salman yang kalau pulang hanya numpang mandi, makan, dan menaruh baju kotor sebelum pergi lagi setelah minta uang pada Abah. Kata Adek, dia sudah senang Salman masih mau pulang dan masih menaruh perhatian dengan menanyakan kabarnya.

“O iya, gimana baju sama jilbabnya, udah dicobain?” Tanyaku lagi, mengalihkan pembicaraan.

“Udah, Adek suka. Apalagi yang warnanya biru,” serunya dengan bersemangat. "Makasih ya Kak. Sekarang Adek punya banyak baju sama jilbab baru."

Aku haya tersenyum mengiyakan. Adek memang terlihat sangat antusias dengan kegiatan belanja kami siang tadi. Walau sempat khawatir dengan banyaknya barang yang kubeli, namun dia tak menolak pada akhirnya. Dua hari lalu aku hanya bisa meringis ngeri melihat kaus kaki yang dia pakai sudah berlubang serta ditahan dengan karet gelang agar tidak melorot. Pun rok sekolahnya sudah sangat pendek jauh diatas mata kaki. Apalagi saat kuperiksa pakaian dalamnya sudah berumbai dan beberapa malah tidak cocok dipakai oleh anak yang hampir menginjak masa remaja. Mau tak mau kupaksa juga dia belanja hari ini.

Adek –Naina- bungsu di rumah ini yang baru genap duabelas tahun bulan lalu. Dari dulu dia memang lebih pendiam dan sangat pemalu. Berlawanan dengan sifat Salman yang lebih ekspresif atau aku yang banyak omong dan suka ikut campur urusan orang. Dia seperti dibalik bayang-bayang karena jarang bersuara dan mengungkapkan isi hati dan kepalanya. Bahkan untuk urusan pribadi seperti keperluan sehari-hari dia tak berani mengatakan ada Abah. Aku bahkan sangat yakin kalau aku tak memeriksa baju-bajunya kemarin, dia tak akan pernah meminta.

“Besok lagi, kalau Kak Muthi nggak ada trus ada baju Adek yang udah kekecilan, kaos kaki bolong atau daleman udah rusak, minta uang sama Abah aja ya buat beli. Kalo Salman atau Abah nggak bisa anterin, Adek berani kan, belanja di pasar sendiri abis pulang sekolah? Atau bisa juga minta tolong sama Bi Zuhriah,” kataku sambil membilas sebuah piring yang sudah dia sabuni.

Pilihan hatiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ