05. Hati-hati

Começar do início
                                    

"Mau ke dokter aja?"

Adisa menggeleng, dia sudah tahu alasan kenapa kepalanya bisa sesakit ini. Barusan di jalan dia berpikir dan akhirnya sadar kalau ini sudah mendekati siklus bulannya. Sakit kepala sudah biasa mendera, tapi kali ini lebih parah, mungkin karena ditambah faktor lembur dua hari penuhnya.

"Di rumah aja, minum obat bisa sembuh," gumamnya lirih.

"Gue bawa ke dalam ya?"

"Nggak—bentar, bisa sendiri," tolak Adisa sambil berusaha buat bangun walaupun kepalanya sakit bukan main. Melihat itu Daffa langsung keluar dari mobil dan menunggu Adisa di depan pintu.

"Sorry—ngerepotin," kata Adisa setelah Daffa membantunya buat masuk ke dalam rumah.

"Dis? Lo tiduran aja deh. Butuh apa? Biar gue yang ambilin."

Adisa menatap sebentar wajahnya Daffa yang kelihatan khawatir itu, "Nggak apa-apa?"

Daffa mengangguk. Dia belum pernah seyakin ini buat membantu seorang perempuan. Belum pernah seingin ini buat menemani seseorang dan merawatnya sampai sembuh. Silahkan sebut Daffa mulai bucin karena memang itu kenyataannya.

Daffa sekarang sedang melihat-lihat dapur Adisa sementara yang punya rumah langsung ia suruh buat tiduran di kamar. Dia tersenyum kecil ketika melihat masakan yang ada di atas kompor, mungkin sisa sarapan tadi pagi. Yang Daffa tahu adalah Adisa tinggal sendirian, jadi masakan itu sudah pasti hasil karyanya.

"Ini ada nasi sama lauk tadi pagi ya kayaknya? Makan dulu," ujar Daffa setelah meletakkan seporsi makanan di meja samping kasur Adisa, lengkap dengan segelas air putih.

Adisa yang lagi tiduran langsung berusaha bangun dan menatap makanan yang diberikan Daffa dengan sedikit terharu. Dia memang berencana akan makan nasi, minum obat dan langsung tidur, tapi tidak pernah terpikirkan di dalam rencananya kalau Daffa akan ada disini, mengambilkannya makanan dan menanyakan dimana letak dia menyimpan obatnya.

"Udah?" Daffa duduk di tepi kasur, menatap khawatir ke arah Adisa yang baru saja selesai menelan obatnya.

"Udah."

"Lo sakit apa sebenernya?"

Adisa menggigit bibirnya ragu sebelum menjawab, "Jangan diketawain—"

"Iya?"

"—gue kalau mau haid emang kayak gini."

Bukannya tertawa, Daffa malah terlihat semakin khawatir.

"Serius? Terus selama ini gimana, lo sendirian begini?"

"Enggak," Adisa menggeleng pelan, "Biasanya nggak sampai separah ini. Mungkin gara-gara kemarin gue lembur dua hari."

"Sakit banget ya?" Daffa bertanya sekali lagi, lalu mengusap kepala Adisa dengan lembut.

Diusap begitu, Adisa langsung menahan nafasnya karena parfum Daffa yang semakin kuat tercium membuat jantungnya berdebar-debar.

"Udah—mendingan."

"Tidur aja Dis, gue cariin makan buat nanti kalau lo udah bangun," titah Daffa tanpa melepas tangannya dari kepala Adisa.

"Lo nggak kerja?" tanya Adisa yang baru sadar kalau Daffa hanya memakai setelan santai di jam kerja seperti ini.

"Kerjaan gue freelance. Udah ya gue tinggal dulu, get well soon Adisa."

Dengan satu kalimat dari Daffa barusan, Adisa lantas menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut dan berusaha untuk tidur walaupun segala perlakuan laki-laki yang barusan keluar dari kamarnya itu mendistraksi pikirannya.

[ON GOING] Ventisei // Kim DoyoungOnde histórias criam vida. Descubra agora