"Kau spesial, Gladio." Tanpa diduga, Max ikut serta dalam perbincangan. "Kesempatanmu hanya satu kali ke Jathin'gar."

"Besok, di pagi ulang tahunmu yang ke empat belas, pengajar dari Jathin'gar akan datang menjemput. Bereiap-siaplah, Nak." Bibi Lovjer menambahkan.

Aku tahu sekarang. Orang-orang di rumah ini telah mengetahui segala tentang negeri Jathin'gar. Percaya tidak percaya, ucapan Bibi Lovjer dan anak sulungnya itu amat meyakinkan. Mungkin inilah jalanku. Menggapai sesuatu yang sudah sepatutnya kudapatkan.

"Selamat ulang tahun, adik sepupuku yang paling manis." Max memelukku yang masih terheran dengan realita ini.

"Selamat ulang tahun, Tuan Acursio," ucap Urd yang entah sejak kapan bertengger di sebelahku. Bibi Lovjer tampak memberi senyum pada roh burung itu. Ia bahkan berpesan agar sang tjener menjagaku selama berada di Jathin'gar.

Kami bertiga saling memeluk erat, lalu melepasnya seraya saling pandang. Betapa hangatnya keluarga kecil ini. Sedangkan esok hari, aku akan meninggalkan mereka, menjauh dari kehangatan yang selama ini kunikmati.

Setelah memberi ucapan ulang tahun, Bibi Lovjer dan juga Max berniat kembali ke kamar masing-masing, sebelum sebuah gerutu seketika mengagetkan kami.

"Aku juga ingin dipeluk!"

Si menyebalkan Lothi.

***

Seorang perempuan mendatangi rumah. Dengan pakaian ala bangsawan terkemuka dan tongkat sepanjang jangka sorong di tangan, saat ini ia tengah berhadapan dengan Bibi Lovjer di ruang tamu. Entah dari mana asalnya. Pagi-pagi sekali orang itu sudah berada di depan rumah sembari mengetuk pintu beberapa kali. Sedang aku hanya dapat mengintip dari jendela kamar, tak berani membukakan pintu hingga Bibi Lovjer sendirilah yang menemuinya.

Masih pukul enam tiga puluh pagi.

Aku berusaha mencuri dengar dari balik daun pintu, sebelum tiba-tiba Max membukanya dan membuat sakit keningku. Sialan! Memangnya sulit sekali mengetuk pintu?

"Huh, itu pasti sakit. Apa aku bersalah?" Max mempertanyakan perihal benturan tidak sengaja tadi.

"Tentu iya," ketusku.

Max terkekeh dan melontarkan ucapan maaf. "Lagi pula, sedang apa kau di balik pintu? Ha?"

Aku menggeleng tak menjawab, masih mengelus-elus kening korban benturan. Harapannya, sih, sakitnya segera lenyap.

"Bersiaplah, kemasi barangmu! Utusan dari Jathin'gar sudah tiba."

Anggukanku menjadikan Max akan menutup pintu. Namun, ia justru kembali padaku seraya berkata, "Sebaiknya kau temui saja orang itu."

"Dasar Max menyebalkan!"

"Anggap saja hari ini pelampiasanku lantaran sebentar lagi akan berpisah untuk waktu yang lama," kelakar sepupu dewasa itu sembari mengekek riang.

Dari kamar menuju ruang tamu. Langkah kaki ini terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Mungkin efek canggung.

Di sofa ruangan, terlihat dua orang wanita masih asyik berbincang-bincang. Atensi mereka teralihkan saat aku bersama Max datang. Tanpa disuruh, aku langsung duduk di sebelah Bibi Lovjer.

"Gladio," panggil Bibi Lovjer. Suaranya sangat tegas, sedikit berbeda dari hari-hari biasanya ia berbicara padaku. "Kau akan pergi bersama guru pembimbingmu, Miss Leticia Razorbill."

"Salam kenal, Miss Leticia!"

Sang guru nan cantik itu tersenyum, "Salam kenal, Gladio! Omong-omong, bisakah kita berangkat sekarang juga? Karena perjalanan memakan masa cukup lama."

Bibi Lovjer segera menyuruhku berbenah. Segala yang kuperlukan kumasukkan ke dalam koper. Pakaian juga buku-buku yang kurasa sangat butuh, ponsel, dan tentu saja peninggalan Ayah—Urd yang masih tertidur di dalam belati ruby.

Kugeret koper nan berat. Max bersama Bibi Lovjer memelukku untuk kesekian kalinya. Ucapan "selamat pergi" tak luput  dari bibir mereka berdua. Hanya mereka berdua, karena Paman Lovjer sedang sibuk kerja di luar kota, juga Lothi yang pagi-pagi sekali berangkat ke pelatihan anggar.

"Jaga dirimu baik-baik. Jangan terlalu sering memikirkan kami," pesan Bibi Lovjer.

"Tetaplah fokus!" sambung Max.

Langkah kaki menapaki luar bangunan yang selama hampir 14 tahun kutempati. Berat rasanya meninggalkan kehidupanku yang normal. Kehangatan rumah, keluarga yang pengertian, Morthi dan sekolah kebanggaan kami. Sangat mengejutkan, benar? Aku sendiri pun masih belum yakin betul kalau semua ini benar-benar kejadian nyata.

Miss Leticia menuntunku ke jalanan yang masih sunyi. Mentari pagi menyapa di kala kami berdua berjalan menyusuri trotoar ke arah kanan jalan.

"Oh iya, sudah tidak ada yang tertinggal, kan? Aduh, bisa gawat kalau kau lupa membawa barang-barang kesukaanmu!" Histeris lagi panik. Roman muka yang pengajar itu tunjukkan berbanding terbalik dari sebelumnya yang terlihat berwibawa di hadapan Bibi Lovjer.

"Tidak, kok, Miss. Semua sudah saya masukkan ke dalam koper." Aku menjawab. Tenang juga ramah.

"Ooh, baguslah," ujarnya disertai senyum sumringah, "sekarang, biar aku yang membawakan kopermu."

"Tidak usah rep—"

"𝚂𝚝𝚘𝚛𝚊𝚐𝚒𝚎𝚛, please!"

Satu ayunan tongkat sepanjang tongkat komando perwira itu sukses menghilangkan koper milikku.

"Di mana koper saya, Miss?" Aku mulai panik dibuatnya.

"Tersimpan di tempat yang aman," jawabnya enteng. Ia lalu kembali berjalan bersamaan dengan kibaran jubah biru gelap yang tersampir antara leher sampai pinggangnya. Aku terkikik melihat pakaiannya, membatin, kenapa tidak sekalian memakai toga?

"Nah, kita akan mulai perjalanan dari tempat ini."

Berhenti di depan sebuah gedung tua nan kosong. Ada yang tampak aneh dari gedung itu. Tidak kulihat di bagian manapun pintu bahkan jendela. Semuanya hanya terdiri dari bata merah yang ditumpuk menjadi sebuah bangunan. Miss Leticia kemudian melangkah mendekati tempat itu dengan tergesa-gesa. Aku takut kalau-kalau sepatu hak tinggi yang ia kenakan menjatuhkannya seketika.

"𝙾𝚙𝚎𝚗 𝚍𝚑𝚎 𝚐𝚊𝚝𝚎!"

Lagi-lagi ia mengayun tongkatnya, mengetuk-ngetuk tembok bangunan dengan ujung tongkat tersebut. Seketika puluhan bata merah bergeser memencar, menciptakan sebuah pintu masuk kuno khas dengan anak tangga seragam di dalamnya.

"Apa lagi yang kau tunggu? Ayo masuk." Miss Leticia menyuruhku agar melangkah terlebih dahulu. Tidak banyak anak tangga. Mungkin hanya sekitar sepuluh, dan ujung dari tangga tersebut berakhir di sebuah tempat luas lagi menakjubkan.

Mataku dimanjakan oleh pemandangan nan memukau. Aku yakin, tak ada satupun tempat di Norwegia yang seindah ini.

"Selamat datang di Gate!"

- TBC -

GladioWhere stories live. Discover now