***

Masa ini aku sudah bersiap sebagaimana bocah normal di pagi hari. Bersekolah. Menurut sebagian remaja, itu salah satu hal yang membosankan karena dilakukan saban hari, kecuali saat libur. Aku sendiri malah mementingkan sekolah. Alasannya tentu karena jasa keluarga Lovjer. Dan Bibi sempat berpesan pagi ini agar aku pulang lebih awal serta selalu berjaga jarak dengan teman-teman nakal. Rasanya sedikit berbeda dari biasa.

Urd menemaniku di sepanjang perjalanan. Percayalah, semalaman pun aku tidak nyenyak tidur lantaran memikirkan keanehan-keanehan yang kualami. Ia bercerita mengenai seluk beluk dirinya. Seperti dongeng sebelum tidur. Aku sendiri amat tertarik dengan apa yang ia kisahkan. Ternyata dahulu Urd merupakan seekor burung api yang hidup nyata tanpa tuan. Dia mati di usia 125 tahun kurang lima hari. Setelahnya, ia berinteraksi sebagai sosok roh burung dengan pemilik yang berganti-ganti setiap periode sang pemilik hidup.

"Saya patuh sebagai tjener untuk keluarga Acursio sejauh saya menjadi roh," tuturnya di sela-sela perjalanan, "dan hanya kalangan penyihirlah yang dapat melihat sosok saya."

Aku terkagum. Satu fakta, jika memang roh tjener hanya bisa dilihat oleh penyihir ....

"Itu artinya, aku ini penyihir?"

"Betul sekali. Anda penyihir murni dari darah Tuan Acursio sebelumnya yang menikah dengan keluarga penyihir alkemis."

Terbayang, orangtuaku seperti figur pahlawan sihir di dunia perfilman. Yang aku tahu, hidupku tidak seaneh ini sebelumnya. Kata Bibi Lovjer, Ayah seorang teknisi komputer dan Ibu hanyalah ibu rumah tangga biasa.

Aku melanjutkan pertanyaan, "lalu, bagaimana caranya kau menjadi seorang tjener?"

"Dengan mantra pemanggil. Tuan Acursio pertama merupakan seorang ahli sihir pemanggil. Orangnya pemberani, meski seringkali ceroboh," tuturnya.

Apa benar, kakek dari kakeknya kakek kakekku sekeren itu? Ah lupakan, pecinta SpongeBob!

"Ooh, kedengarannya menakjubkan. Mungkin aku juga bisa mempertimbangkan pergi ke Jathin'gar."

Sang burung menyahut, "Itulah tujuan saya menemui Anda dengan tanda-tanda."

"Jadi--"

"God morgen, Gladio!"

Seseorang terdengar menyapa. Morthi rupanya sudah berdiri di depan gerbang bersama senyum terbaiknya. Aku sempat tercekat, takut kalau-kalau ia memergokiku sedang berbicara dengan Urd. Untungnya Morthi bukan penyihir. Entah begitu mungkin.

"Kenapa jalan sambil melongok ke samping? Kau tidak terkena penyakit tulang bengkok, kan?" Morthi asal berbicara.

"Hanya melihat jalanan," ucapku beralibi.

Kami melangkah beriringan dengan siswa-siswi lain. Koridor ruangan begitu ramai, para guru berseliweran ke sana kemari. Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang menyadari keberadaan Urd kecuali diriku. Baguslah. Itu pertanda keseharian ini akan berjalan seperti biasanya.

Ruang kelas sebagaimana mestinya, ramai dan gaduh. Apalagi pagi ini cuaca sangat bagus. Matahari di Norwegia memang sangat aneh. Mungkin negara lain bertemu sinar matahari dengan normal, tetapi tidak di wilayah ini. Midnight sun seringkali terjadi di Norwegia Utara. Dan itu terjadi setiap tahunnya. Aku ingat Paman lahir di Harstad yang saljunya amat tebal kala musim dingin tiba. Omong-omong, dia orangnya agak emosional.

"Trondheim jauh lebih menyenangkan. Yang membikin jengah itu turis asing. Kadangkala mereka membuang sampah di sembarang tempat," jelas Morthi sesaat setelah aku bercerita soal perkotaan di utara.

"Universitas Oslo yang terbaik."

"Ayolah, itu lagi itu lagi. Memangnya, seberapa ingin kau masuk ke tempat itu?"

"Sangat ingin."

Obrolan tidak nyambung kami berakhir saat bel pelajaran pertama berdering. Tidak ada tugas rumah hari ini. Pantas jika Morthi tidak menanyakannya padaku. Aku lalu melirik Urd yang sedari tadi diam di sisiku, mendengarkan pembicaraan yang mungkin terkesan aneh. Kepakan sayap Urd agak membuatku takut. Bagaimana kalau sampai memercik ke sekeliling? Apakah tidak bahaya?

"Urd?" panggilku.

"Iya, Tuan?"

Aku berbalik badan ke belakang, sambil menarik buku dan juga bolpoin dari dalam ransel. "Kau masuk saja ke pisau ini," ucapku menunjuk belati yang kumaksud, terselip di antara buku-buku. Ia akhirnya menurut. Segera aku mencabut batu ruby dari gagang belati.

"Memangnya tidak apa-apa? Maksudku, membawa pisau ke sekolah." Aku bergumam ria. Selagi tidak ketahuan guru, apa masalahnya?

***

"Baiklah, sekarang aku perlu memahami isi surat dari 'Ayah' ini." Kupikir, langkan di atap sekolah jauh lebih aman ketimbang rumah. Terkadang si cantik Lothi berbuat usil di sela-sela waktuku. Tak jarang pula Max mengajakku nonton film fantasi atau kartun kesukaan. Jadi, jujur saja tak ada detik-detik luang selain jam istirahat di sekolah.

Morthi tertegun di antara kegiatan mengunyah roti isinya. "Surat dari ayahmu? Bukankah ayahmu itu sudah ...?"

"Yeah. Semacam surat wasiat. Ini sudah kubaca tadi malam. Tapi aku belum mengerti maksud sebenarnya," jawabku. Sungguh, aku ingin sekali berkata jujur pada temanku ini. Namun, Urd mengatakan bahwa hanya boleh mengatakan tentang diriku saja dan tidak untuk membuka rahasia mengenai negeri Jathin'gar maupun tjener.

"Woaa, mungkin kau diberi sesuatu berupa harta peninggalan?" Aku menggeleng saat Morthi berpendapat begitu. Jelas, ini bukanlah harta ataupun sejenisnya.

Aku kembali membaca isi surat yang kubawa. "Di sini dikatakan bahwa aku masih hidup ketika menemukan surat ini."

"Wasiat klasik." Morthi berkelakar. Mulutnya masih setengah penuh oleh makanan.

Beralih atensi, kutelaah kalimat selanjutnya, "Aku disuruh bersekolah di Jathin'gar."

"Apa itu nama Sekolah Menengah?" Morthi memberi sedikit perhatian.

Aku mengedikkan bahu. "Mungkin, iya," ucapku pura-pura tidak tahu apa itu Jathin'gar, "kemudian ... Urd--ah, lupakan."

Seketika Morthi menoleh. "Kenapa?"

"Tidak kok." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, "tertulis juga kalau aku perlu membuka tabir kilas balik? Apa maksudnya?"

"Mengungkap masa lalu. Mungkin saja ayahmu ingin kau bersekolah di tempatnya sekolah dahulu. Orangtua kan sukanya begitu, agar anaknya bisa meneruskan perjuangan," jelas Morthi panjang lebar.

Jarang sekali dia pintar. Biasanya, yang ada di omongan Morthi hanyalah film fantasi dan legenda urban. "Hari ini, aku salut padamu, Morthi."

Giring-giring kelas berdentang lantang. Itu artinya, waktu makan siang telah usai. Kami berdua harus segera kembali ke kelas.

Hmm, rahasia-rahasia ini semakin menarik untuk ditelusuri.

- TBC -

GladioWhere stories live. Discover now