SKENARIO PETANG

82 4 0
                                    

a short story by Anugrah Rezkita and Kezia Elkardiana 

Kalau tiba waktunya sore, saya sering mendengar suara pintu belakang rumah terbuka. Biasanya yang melakukan hal seperti itu adalah nenek.  

Ini tentang sebuah kenangan. Bukan sembarang kenangan bagi saya. Ini kenangan nenek. Bukan kenangan yang dibuat-buat oleh nenek untuk saya karena sejujurnya saya jarang berinteraksi dengannya semenjak sibuk dengan tugas-tugas sekolah. Nenek ada di dalam kenangan itu. Bukan sekedar wajahnya yang muncul di kepala saya. Jiwanya pun ada melayang-layang. Semuanya itu selalu saya rasakan di saat-saat seperti ini. Saat petang hingga gelap. Dan itu kalau saya sedang sendiri di rumah.  

Hari ini saya sedang ditinggal sendiri. Lagi. Menikmati kemunculan petang dari balik tirai kamar. Sekaligus memastikan rumah tak disentuh tangan licin maling sekitar. Entah mengapa ada suara kucing-kucing di belakang rumah. Setahu saya, kucing-kucing itu sudah tak kelihatan semenjak nenek tiada. Semenjak kebun kecilnya yang ada di belakang rumah disulap menjadi sebuah teras belakang. 

Suara-suara kucing itu pun mengingatkan saya akan hari itu, sekitar empat tahun yang lalu, hari dimana petang terasa amat mencekam ketika melihat Bibi Tum tergopoh-gopoh keluar dari kamar nenek. Bibi Tum bilang nenek sudah gila, entah berbicara dengan siapa. Saya yang waktu itu baru pulang sekolah, entah karena terlalu polos atau ingin tahu langsung saja menerobos masuk ke dalam kamar nenek. Kamarnya gelap. Tampak jelas siluetnya dan yang membuat saya terkejut ada sekitar belasan kucing di dalam sana. Biasanya ia hanya akan bersama kucing-kucing itu di belakang rumah sambil tertawa kecil bersama mereka. Namun, yang saya dengar kali ini hanya tangisan.  

"Nek, ini Nissa. Nenek kenapa?" Saya menggenggam tangannya, berusaha mengeluarkannya dari tangis yang semakin lama semakin menjadi-jadi. 

Nenek menghentikan tangisannya, memandang wajah saya sejenak, membelai, dan berkata, "Nissa, cucu nenek" , lalu matanya terpejam. Waktu itu berjalan begitu saja, terasa cepat. Yang saya ingat, saya ikut menjadi panik dan berteriak memanggil siapapun yang bisa dipanggil. Percaya tak percaya, memang benar nenek menghembuskan nafasnya di kamar itu. Tepatnya setelah menyebutkan nama cucunya. 

Satu hal yang ingin saya ceritakan sedikit. Nenek dijuluki ibu kucing di lingkungan kami. Setiap hari kucing-kucing itu datang mengahampirinya entah itu sekadar bermain atau mencari makan. Nenek tak pernah mengundang mereka. Atau mungkin kesedihannya ditinggal kakek sudah menjadi tanda hiburan yang diberikan baginya. Saya tak menyukai kucing. Mungkin lebih kepada bersikap biasa saja terhadap makhluk berbulu yang berlagak tuan itu. Di rumah ini, ibulah yang paling membenci kucing. Bulu-bulu mereka hal yang teramat dibenci ibu. Kedua adalah suara-suara kucing yang memelas meminta perhatian. Ibu membenci itu. Membenci keseharian gerombolan kucing yang bisanya mengganggu ketenangan pekerjaan dapur. Ibu bisa saja kehilangan satu kilogram daging ayam di sana, sepotong ikan segar, atau kadang ikan mas yang sudah digoreng dan harum. Bagaimanapun ibu sangat membenci kucing-kucing itu. Kehadiran nenek yang membuat ibu (mungkin) sabar membiarkan kucing-kucing itu masuk ke dalam rumah atau langsung mampir ke belakang rumah. Kalau nenek sedang tak di rumah, ibu pasti menghajar habis kucing-kucing itu. Menggertaknya dengan berbagai macam cara. Entah itu dengan hentakan sapu pada lantai, siraman air panas, hingga lemparan batu-batu kecil yang ditemukan di segala penjuru belakang rumah.  

Petang waktu itu sama seperti hari ini. Aneh. Entah mengapa, rasanya ada sesuatu saja. Yang berbeda hanya suara kucing-kucing itu. Saya menuruni tangga rumah, melangkahkan kaki dengan teramat hati-hati sembari mendengarkan dengan jelas suara-suara kucing itu. Arahnya memang benar ada di belakang rumah. Suara kucing-kucing itu semakin memekikkan telinga.  

Ketika hendak menuju belakang rumah, saya teringat tentang sebuah lukisan. Lukisan nenek. Dahulu lukisan itu dipajang di dekat pintu belakang rumah kami. Saya sejenak menghentikan langkah dan balik memandangi tembok kosong bekas dipajangnya lukisan nenek. Saya membayangkan saat-saat lukisan itu ada di sana. Lukisan nenek amat besar, bahkan lebih besar daripada foto keluarga kami yang ada di ruang tengah. Di lukisan itu nenek tersenyum, bibirnya seperti hidup, amat sehat merah merekah. 

Petang kali ini seperti sedang menegur saya. Setidaknya membuat saya mengingat tentang nenek hingga membuat langkah saya kemari, tempat di mana lukisan nenek hidup di dalam sebuah bingkai. Suara-suara kucing di belakang rumah menyadarkan saya. Membuat mulut yang sempat ternganga menutup kembali. Membuat saya menelan ludah ketakutan dan memaksa saya memastikan apa yang sedang terjadi saat ini, di belakang sana, tempat di mana banyak kenangan nenek. 

Saya menengok keluar, mencoba mencari-cari keberadaan kucing-kucing tersebut, tetapi tak ada apa-apa di sana. Saya terdiam. Kemudian duduk di kursi teras, sebuah kursi kayu yang sangat sederhana, tempat favorit nenek kalau setiap sore. Saya diam, menghirup wangi air yang menyentuh tanah.  

"Nis, kok pintu belakang kamu buka? Nanti banyak nyamuk", suara ibu tiba-tiba mengagetkan saya, hampir jantung saya berhenti karenanya. 

"Ibu sudah pulang? Sejak kapan?" 

"Baru saja. Pintu depan tak ditutup. Kamu sedang apa?" 

"Tak ada. Nissa mencari-cari suara kucing." 

"Suara kucing? Mana ada kucing di sini. Sebaiknya kamu bantu ibu menyiapkan makan malam, Nis", lanjutnya sambil meninggalkan saya. 

Saya tak merespon ibu. Kali ini kepala saya dipenuhi rasa penasaran. 

"Ibu, Nissa yakin mendengar suara kucing-kucing itu. Gerombolan kucing yang biasa bermain dengan nenek di sini." 

"Nis, itu cuma perasaan kamu." 

"Bu, ini bukan yang pertama kalinya. Setiap sore Nissa mendengarnya di sini." 

Ibu terdiam, hanya melangkah balik ke arah saya kemudian duduk di kursi tepat di samping. Ibu menghela nafas entah apa artinya. "Kamu tahu kenapa tak ada lagi lukisan nenek di rumah kita?," lanjutnya. 

"Bukankah rusak saat Nissa di sekolah?"  

Ibu diam. Pandangan kami saling bertemu. Perasaan saya mengatakan ada yang sedang ibu sembunyikan. 

"Lukisannya ibu kubur bersama kucing-kucing itu di bawah teras ini." 

***

VENUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang