Tombak menghela napas malas seraya membuang muka. Pria itu lalu meletakkan semua belanjaan Aira dan duduk di salah satu kursi teras. "Lo udah ngomong topik permasalahannya. Udah kepalang tanggung bagi gue untuk nggak ngerti. Cepet omongin!"

Senyum Gembul merekah lebar. "Pria idaman emang lo ini, Boy."

Tatapan tajam Tombak melunturkan senyuman Gembul dan segera membuat mantan partner bertugsnya itu mulai bercerita.

.

.

.

.

Seingat Aira, ia tak pernah sekalipun ke tempat ini. Ia tengah berdiri sendirian di tengah sungai dangkal nan luas. Sekitarnya nampak putih oleh kabut yang lumayan tebal. Apapun yang bisa ia dengar saat ini hanyalah suara gemericik air yang konstan dan menghipnotis.

Perhatian Aira lalu terjerat oleh air yang mengalir di mata kakinya. Lambat laun, ia merasa air tersebut semakin meninggi hingga menyentuh ujung rok selututnya. Aira berusaha menepi, namun daratan yang tadinya terlihat dekat, entah mengapa terasa semakin jauh saat Aira berusaha menapakinya.

Aira cukup terkejut ketika aliran air itu sudah berada setinggi pinggangnya. Ia semakin gugup saat melihat warna air itu yang berubah keruh.

Tidak. Ini tidak keruh. Ini merah.

Ini darah!

Napas Aira tercekat saat aliran darah itu setinggi lehernya. Jauh di daratan sana, seseorang tengah berdiri bergeming menatapnya. Aira berusaha mengulurkan tangan, berharap orang tersebut bisa menariknya keluar. Namun hingga aliran darah itu mencapai kepalanya, tak ada siapapun yang menarik tangannya.

Aira tenggelam sepenuhnya. Pandangannya di dalam air dipenuhi oleh warna merah darah. Ia tak bisa melihat apa. Kedua tangannya berusaha menggapai apapun untuk ia pegang, namun ia tak menemukan apa-apa. Ketakutan Aira tak terbendung lagi. Ia tak bisa bernapas, sedangkan dada dan tenggorokkanya terasa panas. Napas Aira terputus. Gelembung udara terakhir yang keluar dari mulutnya menjadi penanda akhir hidupnya pula.

.

.

.

"ARRRRRRGGGGGGGGHHHHH..."

Tombak bangun dengan terkejut. Pria itu mendapati Aira yang duduk terengah dengan kedua mata yang melotot takut.

"Aira?" Tombak meraih pundak Aira, dan membuat perempuan itu menolehnya. "Hei, ada apa?"

Tak ada jawaban dari Aira. Napasnya masih tersengal. Kedua matanya yang memerah mulai dialiri air mata.

"Aira lihat aku! Kamu mimpi buruk?"

Tangis Aira pecah. Tubuhnya melemah dan ambruk di dada suaminya. "Tombaaaaak...," lirihnya.

Kedua lengan Tombak memeluk Aira, mengalirkan ketenangan lewat usapan lembutnya. "Ada aku. Jangan takut, itu hanya mimpi."

"Tombaaaaak..." Suara Aira semakin lirih. Ia menangis tanpa suara lagi.

Tombak mendadak diliputi perasaan resah. Ketakutan yang sempat ia lupakan kini hadir lagi. Rasa bersalah itu pun membuncah kembali.

***

Andrea memperhatikan Tombak dan Gembul yang sedang berbincang di halaman belakang lewat jendela besar di dapur rumah. Jika dilihat dari raut wajah keduanya, mereka seperti membahas sesuatu yang serius.

Perhatian Andrea teralih ke pintu kamar utama. Sejak ia keluar kamar pagi tadi, ia tak melihat keberadaan Aira sedikit pun. Aneh. Bagi Andrea keadaan ini tidak seperti biasanya. Ia pun mulai bertanya-tanya apakah sekarang Aira masih tidur atau hanya sekedar malas untuk keluar kamar.

BERTEDUHWhere stories live. Discover now