s e n a || t i g a

16.3K 1.2K 100
                                    

"Ren, saya pergi sebentar ya!" Aku menilik arloji, jam menunjukan pukul 10 pagi. Hari ini aku ada janji mengunjungi Bang Gayar di kediamannya. Rena yang sedang menggantikan Gita memegang bagian kasir mendongak dan mengangguk.

Gita salah satu karyawanku sedang sakit, aku memberinya izin untuk istirahat di rumah selama sakit. Aku harap Gita lekas sembuh dan bisa beraktivitas kembali bersama Rena dan yang lain.

"Mau ke dokter lagi, Bu?"

"Ah, enggak. Mau keluar sebentar. Nanti kalau ada temen saya dateng ke sini, kamu hubungi saya ya!" Terangku mengingat mungkin saja Dania akan berkunjung sekalian sebar undangan.

"Siap Bu Sena!" Angguknya dengan semangat.

Jarak rumah Bang Gayar dengan rumahku sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi jadi jauh jika dari butik ke kediamannya. Aku harus pandai mencuri-curi waktu, karena setelah kerja aku harus langsung pulang ke rumah. Aku masih dalam pengawasan.

"Oh, oh, oh, apa ini? Rumahnya di tengah-tengah hutan buatan?" Lirihku saat mobil melewati gerbang rumah dan mataku disambut dengan banyak pepohonan hijau, dari ukuran besar sampai kecil. 50 meter kemudian barulah rumah Bang Gayar terlihat.

Rumah luas ini membuatku terkagum-kagum, terlihat luar biasa dengan kontruksi bangunannya. Berdinding kayu cendana yang mungkin harumnya mampu membuat paru-paruku betah kembang-kempis.

Tidak ada bel yang terlihat, aku mengetuk pintu kayu berwarna merah kekuning-kuningan. Tangan kiriku menenteng tote bag berisi makanan. Ada berbagai cemilan di dalamnya.

"Permisi," ketukku sekali lagi. Barulah pintu terbuka, gadis seusia Reza membuka pintu dengan muka bantal khas baru bangun tidur. Rambutnya awut-awutan. Baju yang dipakai masihlah baju tidur bergambar beruang.

"Eh," pekiknya terkejut, mungkin tidak menyangka akan mendapati orang asing di depan pintu rumahnya. Gadis itu terlihat panik, tangannya dengan cepat merapikan rambut. "Eng-- cari siapa ya, Kak?" Tanyanya dengan dahi berkerut.

"Cari Bang Gayar, ada?" Aku mengerjap beberapa kali sebelum tersenyum. "Sena Sena. Eh, maksudnya s-saya Sena." kataku kemudian memperkenalkan diri dengan tergagap.

"Bang Gayar ada di dalam. Masih tiduran di kamar. Mau ketemu, ya?" Dengan senyum lebar gadis itu membuka pintunya tak kalah lebar dan mempersilahkanku masuk. "Pacarnya Abang?" Tanya gadis itu dengan riang. Di belakang aku sampai terkejut mendengar pertanyaannya. Aku meringis.

"Temen," kataku tidak yakin. Kami baru berkenalan kemarin.

"Ah masa?" Gadis itu bertanya dengan menggoda, matanya menggerling. "Temen apa temen?" Tanyanya sembari terkikik.

Aku tidak tau harus merespon apa dan bagaimana selain lagi-lagi meringis.

"Ini kamarnya, masuk aja! Lagi nggak enak badan orangnya." Gadis muda itu menunjuk pintu mengkilat berwarna merah kecokelatan. "Oh iya, Kak Sena. Kenalin, gue Ella, adiknya Bang Gayar. Santai aja sama gue Kak, nggak usah kaku. Pokoknya jangan sungkan-sungkan. Gue pergi dulu Kak, mau mandi. Daaah!" Ella berdadah ria sebelum melesat lari sembari dia mengangkat lengan dan mencium keteknya.

Aku menggelengkan kepala.

Rumah ini benar-benar sepi. Patutnya rumah sebesar ini memiliki ART, namun sejak tadi hanya Ella yang kulihat. Bahkan suara orang lain selain Ella pun tidak ada. Lantas ke mana orang tua Bang Gayar dan Ella?

Rumah dengan sebagian besar furnitur kayu ini tampak mahal dan sedap dipandang. Selain itu memunculkan kesan nyaman dan tenteram.

Aku mengetuk pintu pelan. Tidak sampai 3 kali ketukan, pintu terbuka dan terlihat Bang Gayar shirtless dengan rambut acak-acakannya. Tidak ketinggalan wajah miliknya terlihat pucat lesu.

S E N AWhere stories live. Discover now