s e n a || d u a

14K 938 134
                                    

Tiga bulan berlalu, Bi Nurah sudah kembali bekerja. Begitupun aku sibuk dengan butik. Akhir-akhir ini butik terlampau ramai, beruntung aku memiliki karyawan-karyawan cekatan.

"Pesanan Ibu Sena, yuhuuuw." Rena, salah satu karyawanku membuka pintu dan mengantarkan ayam penyet pesananku. Kemarin Gopud iga bakar, hari ini ayam penyet. Daging-dagingan terus. Harusnya pesan salad juga, sayang lupa, kalap ingin ayam penyet. Padahal butik langganan katering untuk makan siangku dan anak-anak.

"Tolong taruh di meja, Ren. Kamu sama anak-anak udah makan?" Aku sibuk membalas Email yang terus masuk, beberapa di antaranya dari kenalan yang berminat mengambil gaun koktail dan gaun malam dari butikku.

"Udah, Bu." Rena menganggukan kepala.

Aku memperhatikan Rena dari atas ke bawah dan tersenyum iri. Pagi tadi ketahuan bahwa berat badanku kembali naik, tidak banyak tapi tetap saja hari ke hari makin bertambah.

"Kamu lagi ada program diet, Ren? Kurusan tau."

"Bener kurusan, Bu? Syukur deh. Saya akhir-akhir ini diet sambil workout, Bu. Pacar saya nggak mau saya kelebihan berat badan, kurang cocok katanya. Apalagi bentar lagi saya mau diajak kondangan ke nikahan mantan," terang Rena menggebu yang sontak saja membuatku tertawa.

"Ren, pacar kamu banyak mau. Workout boleh, tapi jangan berlebihan ya, saya nggak mau kamu sakit pinggang."

"Siap Bu Sena!"

"Nanti butik tutup agak awal ya Ren, saya mau cari bakeri nomor satu di kota ini. Mami hari ini ulang tahun, kalau nggak dikasih kejutan biasanya suka ngambek," kataku berkelakar. Rena, gadis berusia 22 tahun, ikut tertawa pelan sebelum pamit undur diri dari ruanganku.

Sengaja aku selalu merekrut karyawan muda berpotensi. Lucunya mereka semua memanggilku "Ibu" bukan karena sudah tua, melainkan mereka tidak cukup nyaman jika harus memanggilku Sena atau Kak Sena. Jadilah panggilan Ibu tersebut aku terima dengan lapang dada.

Pukul 8 malam aku baru menginjakan kaki di halaman rumah setelah mencari bakeri terbaik di kota ini. Mengendap-endap aku masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dengan bantuan Bi Nurah aku berhasil menyembunyikan keik yang sudah aku beli.

Setelah menyembunyikan keik, aku pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Mandi.

Diam-diam di belakang Mami, aku dan Papi bersekongkol untuk mendiamkan Mami dan pura-pura lupa bahwa hari ini merupakan hari ulang tahunnya. Sebenarnya sudah sejak pagi Mami curiga, tapi aku dan Papi sepakat untuk meneruskan sandiwara kami.

"Mami di mana, Bi?" Selesai mandi aku kembali turun ke dapur, tidak terasa aku melewatkan jam makan malam karena harus keliling kota.

"Nonton teve, Non. Non Sena butuh sesuatu? Biar Bibi carikan." Bi Nurah yang sebelumnya sedang disibukan dengan piring kotor buru-buru hendak mencuci tangan. Aku yang memang sedang mengaduk-aduk isi lemari es segera menggeleng.

"Enggak, Bi. Sena cuma mau ambil pisang." Aku mengangkat dua pisang raja pada Bi Nurah dan memakannya. "Sena ke Mami ya, Bi. Mau lihat apa iya Mami masih nempelin Papi."

Bi Nurah tau apa yang terjadi, karenanya Bi Nurah mengiyakan sambil menggeleng beberapa kali.

Bahkan Reza yang sedang jalan-jalan ke luar negeri saja sudah mengetahui renacanaku dan Papi. Kemarin aku membeberkan dan mengancam anak itu supaya tidak mengacaukannya. Dan ya, Reza berjanji tidak akan mengacaukan rencanaku asal aku memberinya tambahan uang jajan.

"Iya, mantep, mantep! Jambak, tampar, cepret! Lagi, tampar lagi. Iya, cepret!"

Aku bersedekap melihat bagaimana punggung, kepala, dan tangan Mami bergerak kesana kemari. Di samping Mami, Papi diam menonton sinetron kesukaan istrinya sambil menggeleng.

S E N AWhere stories live. Discover now