5 | Bosan

4K 583 21
                                    


Setelah makan malam barusan, Mas Abhi belum ada niatan pulang. Ia malah meminta izin pada Papa dan Mamak untuk ngobrol sebentar denganku. Dan anehnya, Papa dan Mamak setuju-setuju saja anak perawannya berduaan dengan laki-laki ruang tamu.

Aku jadi curiga Mas Abhi punya keahlian menghipnotis.

“Mas Abhi.”

“Hmm?”

Aku mengeratkan bantal dipelukanku. “Kalau gue punya pacar, Mas Abhi bakal nyerah enggak?”

Mas Abhi ikut menyandarkan punggungnya. “Enggak.”

“Kenapa?” tanyaku dengan mata yang tetap menatap layar TV.

“Masih pacar. Kalau suami tanpa kamu minta pun, aku udah nyerah duluan.”

Oke, baiklah! Sepertinya rencanaku membuat Mas Abhi cemburu sudah pasti gagal. Dan belum tentu Rama mau membantuku. Bisa-bisa malah laki-laki itu yang baper.

“Kenapa? Kamu mau cari pacar boongan?”

“Rencananya sih gitu,” sahutku apa adanya. Bohong juga tidak ada gunanya.

Mas Abhi tertawa ringan. “Cuma ini kesempatan aku satu-satunya, Dek. Aku enggak akan nyerah.”

Aku menghela napas. “Mas Abhi sejak kapan suka sama gue?”

Dari sudut mata, aku bisa lihat Mas Abhi mengedikkan bahu. “Pastinya aku enggak tau, tapi aku baru nyadar sama perasaan aku setelah kamu pindah.”

Tunggu! Itu berarti sembilan tahun yang lalu? Selama itu? Tanpa sadar aku melempar bantal di tanganku, menoleh dan menatap Mas Abhi dengan kedua mata melebar. “Mas serius?”

Mas Abhi mengangguk. “Tapi, jangan pikir aku enggak pernah suka sama orang lain selain kamu.”

Dasar! Aku sempat tersanjung karena dicintai begitu lama tapi ternyata dia sama saja dengan laki-laki lain. Tanpa sadar aku mendengus. Kembali ke posisi semula.

“Setelah coba sama perempuan lain, aku makin sadar kalau aku butuh kamu, Dek. Bukan orang lain. Kamu punya tempat sendiri yang enggak bisa diisi sama orang lain. Yaah, mungkin bagi kamu kata-kata aku barusan berlebihan. Tapi, Mas serius,” lanjut Mas Abhi.

Kali ini kami saling beradu tatap. Dan entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kata-kata Mas Abhi barusan sangat manis. Ini pertama kalinya aku mendengar seorang pria mengatakan hal semacam itu padaku.

Mencintai seseorang untuk waktu yang lama itu sulit.

Eh! Apa-apaan barusan! Astaga, hampir saja aku termakan gombalan Mas Abhi. Aku menggeser posisiku, menggelengkan kepala untuk mengembalikan kewarasanku. “Mas Abhi enggak pulang?”

“Kamu ngusir?”

“Iya,” balasku cepat.

Mas Abhi menyerong posisinya ke arahku kemudian bersedekap. Kulihat ujung bibirnya berkedut seperti menahan senyum.

“Kenapa?” tanyaku garang. Masih berusaha menyembunyikan debar jantung yang tak kunjung normal.

“Kamu itu, ya. Padahal dulu enggak sejudes ini.”

“Udah deh, Mas. Jangan ingat-ingat masa lalu lagi. Enggak mungkin juga kan gue masih kekanak-kanakan kayak pas SMA dulu. Pulang sana!” Aku menggunakan bantal untuk mendorong tubuhnya menjauh.

Mas Abhi terkekeh sebelum mengindahkan perintahku. “Ya udah, aku pulang sekarang.”

Aku kembali berseru karena Mas Abhi bukannya berjalan ke arah pintu, malah mengambil jalan ke dapur. “Eh, Mas mau ke mana?”

Lamaran Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang