4 | Laki-laki Selain Mas Abhi

4.7K 569 7
                                    

Hari ini karena malas berdiam diri di rumah, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat untuk mengecek toko. Sekalian membantu kalau-kalau banyak pelanggan. Biasanya pelanggan lumayan banyak di pagi hari, pekerja kantoran yang tempatnya tidak jauh dari toko sering mampir ke sini. Menjelang siang, tidak begitu ramai dan kembali ramai di sore hari.

Aku berdiri dibalik kasir menggantikan Juli. Dia aku beri tugas membantu Mbak Lisa di bagian dapur. Kantor yang persis berada di depan toko kembali memesan roti. Dan jumlahnya lebih banyak dari yang sebelumnya.

“Terima kasih,” kataku ramah pada pelanggan terakhir.

“Mbak, gue izin ke toilet.” Tanpa menunggu jawaban dariku Yani sudah melangkah cepat ke arah dapur. Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Baru saja aku duduk, berniat mengecek ponsel siapa tahu ada yang penting ketika pintu terbuka hingga lonceng di atas pintu berbunyi.

Beberapa detik, mata kami saling mengunci. Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Sementara laki-laki itu dengan santai tersenyum cerah ke arahku. Dia Rama. Laki-laki yang juga pernah berniat melamarku. Terakhir aku melihatnya, ya saat dia datang ke rumah. Dan setelahnya, aku tidak tahu lagi tentang kabar Rama. Karena pada dasarnya, aku tidak mengenalnya. Lalu kenapa dia bisa melamarku?

Benar atau tidak, aku juga tidak tahu. Rama bilang, kami pernah sekantor. Dan saat tahu aku berhenti dan memilih melanjutkan usaha Oma, Rama nekat datang ke rumah menemuiku sekaligus menyampaikan niat baiknya.

Jujur, selama bekerja di kantor. Aku merasa tidak pernah berpapasan dengan Rama. Atau kemungkinan lain, aku yang tidak ingat.

“Hai,” sapa Rama membuatku langsung berdiri.

“Hai, Rama. Apa kabar?” tanyaku basa-basi.

Rama mengangguk. “Baik. Lo juga kelihatan baik-baik aja,” dan menghampiriku.

“Yah, baik banget malah.”

“Kayaknya lo betah banget hidup sendiri,” katanya terkekeh pelan sembari membenarkan letak kacamatanya.

Aku mengernyit. “Maksudnya? Gue enggak hidup sendiri kok.”

“Pasangan maksudnya.” Rama tersenyum lagi. Walaupun hanya pernah bertemu sekali dan kedua kalinya untuk hari ini, aku bisa bilang Rama itu murah senyum.

“Ohh..” Aku tidak suka pembahasan ini.

“Lo mau pesen roti?” tanyaku berusaha mengalihkan topik.

Rama mengangguk. “Dari kantor yang di depan.”

Mataku membola, ternyata kantor Rama yang memesan roti sebanyak itu. “Astaga, gue enggak tau. Lo mau ambil sekarang?”

Rama segera menggeleng. “Enggak, gue cuma mau mastiin apa pesanannya bisa diantar pas jam makan siang.”

Aku mengangguk mantap. “Bisa. Sebelum jam makan siang.”

“Oke,” Rama mengusap tengkuknya, “Hmm, Atri.”

“Kenapa?”

Rama sejenak diam, seakan menimbang-nimbang sesuatu, “Itu.. Kalau lo enggak sibuk, gue mau ngajak lo makan siang bareng.”

“Huh?”

Lamaran Kedua Where stories live. Discover now