8 | Yang Terlewatkan

3.3K 500 4
                                    

Mobil berhenti. Aku menatap rumahku sedikit ragu. Mungkin Oma sudah tidur? Apa Mamak sudah tenang? Atau mereka masih bertengkar. Tapi, aku tidak punya pilihan lain selain masuk ke dalam. Mamak dan Papa pasti mencariku jika pulang terlalu malam.

“Kamu mau nginap di rumah aku?”

Aku tersentak lalu menoleh sinis. “Maksud Mas apa?”

“Abisnya, kamu kayak ragu.”

“Enggak, lah! Kenapa gue ragu masuk rumah sendiri!” sahutku melepas seatbelt dengan cepat.

“Dek,” Mas Abhi menahan tanganku. “Kalau kamu butuh apa-apa lagi, aku siap.”

“Kapan pun?” tanyaku menantang. Tidak mungkin, lah. Mas Abhi punya kehidupan sendiri. Dan tidak mungkin seluruh waktunya hanya berputar di sekitarku.

“Kapan pun,” jawabnya mantap.

Aku tersenyum miring. “Jangan ngomong gitu, Mas. Gue enggak mau kecewa kalau sampai Mas Abhi enggak bisa tepatin janji.”

Mas Abhi diam. Aku menarik tanganku dengan mudah dan mengucap terima kasih sebelum menutup pintu. Aku masuk tanpa menoleh sedikit pun. Sekarang waktunya menghadapi Oma.

Pintu kututup dengan hati-hati. Melangkah pelan dan tidak menemukan seseorang di ruang tamu. Padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan. Akhirnya, aku lanjut ke arah dapur. Di sana aku menemukan Mamak duduk sendiri.

“Mak,” panggilku dan segera menghampirinya.

“Kenapa baru pulang?” tanya Mamak menuangkan air dan menyerahkannya padaku.

“Tadi ke rumah temen.” Aku duduk tepat di samping Mamak.

“Biasanya kamu pulang cepat kalau tau Oma di rumah.”

Aku menandaskan air di dalam gelas. “Aku tadi pulang.”

Mamak diam dan aku pun memberi jeda sebelum melanjutkan, “Tapi, keluar lagi pas denger Oma marah-marah”

“Kamu dengar semuanya?”

Aku menggeleng, menunduk agak dalam sambil memainkan bibir gelas.

“Mamak mau tanya. Boleh?”

Aku mengangkat kepala dan menatap Mamak dengan alis terangkat. Menunggunya melanjutkan.

“Selama ini, apa Mamak terlalu atur hidup kamu?”

Meski bukan Ibu kandungku, aku tidak pernah berpikir Mamak adalah orang asing. Untuk beberapa aturan, aku memang tidak suka. Tapi, dengan alasan yang jelas. Tidak serta merta aku tidak suka karena Mamak yang mengatur. Bukan.

“Enggak. Aku tau Mamak cuma mau yang terbaik buat hidup aku.”

Mamak tersenyum tipis, mengangkat tangannya dan mengelus pipiku. “Maafin Mamak kalau terlalu maksa kamu terima lamaran Abhi.”

Aku mengernyit lalu menggeleng cepat. “Jangan ngomong gitu, Mamak enggak salah apa-apa.”

“Tapi, Oma kamu bener. Kamu udah dewasa dan bisa pilih calon sendiri.”

Walaupun ucapan Oma benar ditambah aku sayang Oma. Tetap saja aku tidak suka Mamak jadi sedih dan merasa bersalah seperti ini. Aku menarik tangan Mamak dari pipiku dan menggenggamnya kuat-kuat.

“Mama enggak paksa aku. Anggap ini keputusan aku sama Mas Abhi untuk saling yakin. Bukan karena paksaan. Ya?”

Mamak tersenyum dan menarikku ke dalam pelukannya. “Iya.”

Selesai! Sekarang tinggal Oma.

Lampu di dalam kamarku masih menyala. Artinya, Oma belum tidur. Aku mendorong pintu dan mengintip apa yang Oma lakukan di dalam. Rupanya Oma sedang merapikan buku-buku di rak samping tempat tidurku. Aku meringis, merasa bersalah karena Oma yang harus turun tangan.

Lamaran Kedua Där berättelser lever. Upptäck nu