1 | Katrina Galuh Sanjaya

15.2K 1.1K 26
                                    

Dari balkon kamarku, aku bisa dengan jelas melihat mobil putih terparkir di halaman depan. Tidak lama, dua orang laki-laki berbeda generasi keluar dari mobil. Laki-laki yang seusia Papa mengenakan batik lengan panjang berwarna hitam. Sementara yang posturnya tegap dan tinggi itu lebih kasual dengan celana bahan hitam dan kemeja biru pucat. Aku kenal keduanya bahkan tanpa perlu menajamkan penglihatanku.

Sekarang aku mengerti kenapa Mamak sangat sibuk sejak pagi. Membersihkan segala penjuru ruang tamu, memesan makanan dan sejam yang lalu memintaku berganti pakaian rapi.

“Atri!”

Aku menghela napas panjang. Panggilan Mamak menjelaskan segala pertanyaan yang bergelayut di kepalaku. Belum sempat menyahut, teriakan Mamak kembali terdengar.

“Atri, kamu tidur?” Mamak mengetuk pintu kamarku tidak sabaran.

“Enggak!” Aku meninggalkan balkon kemudian menutup pintunya.

“Atri?”

Langkahku melebar ketika panggilan Mamak kembali terdengar. Aku menghela napas lalu menarik gagang pintu. Ujung bibir Mamak terangkat cepat begitu ia melihatku. Matanya yang semula lurus menatapku, kini turun perlahan hingga ujung kakiku.

“Anak Mamak cantik banget,” puji Mamak dengan senyum yang semakin melebar.

Sepertinya Mamak terlalu melebih-lebihkan. Ini bukan pertama kalinya aku mengenakan dress silver selutut ini.

“Ayo turun.” Mamak menarik tanganku lembut. Mau tidak mau aku harus turun dan bertemu orang yang sebelum aku lihat dari balkon kamar. Tanpa sadar aku menghela napas ketika kakiku mencapai tangga paling bawah. Berat sekali rasanya bertemu laki-laki itu.

Telingaku mendadak tuli saat Mamak menarikku untuk duduk di sampingnya. Entah apa yang mereka bicarakan, mataku sesaat terpaku pada laki-laki di hadapanku. Dia masih sama. Matanya yang dalam tanpa lipatan mata, dengan alis rendah. Bedanya hanya atas bibir yang meninggalkan jejak kumis tipis. Hingga akhirnya satu kalimat menyadarkanku sepenuhnya. Aku segera membuang muka.

“Maksud saya datang kemari, masih sama seperti tahun lalu. Saya berniat mengkhitbah Katrina untuk anak saya, Akbar Farabhi,” ucap Om Damar mantap.

Papa tertawa lepas membuatku menoleh cepat. Apa-apaan! Anaknya bingung setengah mati, Papa malah ketawa. Aku mendengus sebal kemudian melirik lagi Mas Abhi yang duduk di hadapanku bersama ayahnya, Om Damar. Lihat, lah! Dia malah tersenyum tanpa dosa! Mungkin dia pikir dengan melamarku untuk kedua kalinya, aku akan terima.

Cih! Tidak akan!

Tiba-tiba aku merasakan senggolan di lenganku. Aku menoleh malas dan langsung mendapat pelototan dari Mamak. Jangan-jangan Mamak mendengarku mendengus. Jangan salahkan aku. Itu spontan karena perasaanku tidak karuan sekarang ini.

Mengingat beberapa bulan yang lalu, Mamak meminta agar aku tidak lagi menolak lamaran yang datang. Aku tidak bisa mengatakan tidak waktu itu, bisa-bisa Mamak mengamuk, mengaduh pada Papa dan selama beberapa hari ceramah demi ceramah akan terus masuk ke dalam telingaku.

Tapi, siapa sangka lamaran selanjutnya justru datang dari Mas Abhi.

“Enggak usah formal gitu, lah. Kita sudah lama kenal,” kata Papa tersenyum cerah.

Om Damar dan Papa memang sudah lama saling mengenal. Jauh sebelum aku dan Mas Abhi terlahir ke dunia. Dari cerita yang sering Papa ulang-ulang, mereka berdua dulunya tinggal satu kosan.

“Lamaran itu sesuatu yang sakral, ya harus formal dong.” Om Damar tak mau kalah.

Papa melirikku sekilas. “Abhi, Om enggak nyangka kamu datang lagi ke sini.”

Lamaran Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang