Gael Aland ● 1

11.4K 421 16
                                    

Gael melangkah mengikuti guru BK di depannya memasuki  ruangan Kepala Sekolah dengan dengusan kecil. Mengangkat kepala, dia mendapati Anjas, si bajingan yang beberapa menit lalu saling baku hantam dengannya.

Berawal karna Gael memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang diakui sisi seenak jidat oleh Anjas sebagai miliknya. Itu anak emang songong, dikira cuma dia yang bayar sekolah sampai sok berkuasa dari siapapun? Ingin sekali Gael kembali menghajar wajahnya saat mengingat itu.

Mendapati kaca mobilnya pecah karena dipukul dengan batu, Anjas adalah nama yang disebutkan beberapa saksi saat Gael mendapati mobilnya sudah dalam keadaan tidak baik-baik saja. Mana mobil baru lagi, bagaimana Gael bisa diam saja. Jadilah setelah tahu siapa pelakunya, cowok iu segera menemui Anjas di kelas kosongnya dan langsung menghajarnya tanpa babibu. Semua orang yang melihatnya sudah heboh dan ada beberapa yang memekik ketakutan.

Kehebohan itu mengundang anak dari kelas lain untuk menyaksikan keduanya sekalipun masih di dalam jam pelajaran.  Barulah setelah beberapa guru ikut campur tangan memisahkan mereka, keributan itu berhenti.

Dan kini, tatapan Pak Rudi sudah menyambaut Gael dengan marah. Tiada harinya yang tenang di sekolah itu. Gael selalu menghabiskan waktunya.

Mendengus, Pak Rudi membuka mulutnya. "Saya-"

"Maaf saya telat."

Ucapan Pak Rudi di potong begitu saja dari arah pintu. Gael menoleh, orang kepercayaan ayahnya sudah muncul dari sana. Tentu saja.

"Silahkan duduk Pak."

Pak Hadi duduk di sebelah Gael yang sudut matanya sudah lebam. Ujung bibir cowok itu juga terdapat darah yang mengering.

"Jadi begini Pak," Pak Rudi segera memulai, tak mau lagi membuang-buang waktu. "Saya benar-benar tidak bisa mentolerir lagi perbuatan Gael. Bahkan saya tidak bisa lagi melihat celah yang bisa ditulis di buku pointnya." Sangat jelas Pak Rudi tengah menahan amarah dalam suaranya. Rasa-rasanya pria itu ingin sekali meneriaki Gael di depan hidungnya. Tapi demi tata krama, maka itulah yang harus dilakukan Pak Rudi.

Tak perlu menjelaskan secara rinci karena siapapun tahu bahwa Gael dan Anjas baru saja terlibat perkelahian. Bahkan Pak Hadi sama sekali tak terkejut begitu mendapat telfon dari sekolah. Selanjutnya pria itu berdehem, melirik Gael yang anteng di sebelahnya. Bahkan kini dia tak melihat kekhawatiran yang berarti di wajah Gael.

"Dengan tepaksa kami harus mengeluarkan Gael dari sekolah ini."

Hening beberapa detik.

Dan Gael bisa melihat senyum tipis di wajah Anjas. Maka, begitu saja tangannya sudah meraih asbak rokok yang terbuat dari kayu dari atas meja dan melemparnya ke wajah Anjas yang tak siap dengan serangan tiba-tiba itu. Pekikan penuh keterkejutan terdengar dari beberapa guru yang ada di ruangan itu sebelum suara mengaduh kesakitan keluar dari bibir Anjas.

"Gael!"

Pak Rudi menatap Gael yang bahkan tak mau repot-repot untuk menatapnya.

"Di mana sopan santun kamu?!" Hilang sudah kesabaran Pak Rudi. Tak habis pikir dengan tindakan Gael itu.

Kepala Gael berputar, ditatapnya Pak Rudi yang kini menatapnya tajam. "Sopan santun?" Gael memberi jeda, "lalu di mana sopan santun dia?!" Cowok itu beralih menatap Anjas yang keningnya sudah bengkak akibat lemparan maut Gael.

Pak Hadi berdehem, "saya akan menerima Gael dikeluarkan dari sekolah ini."

Ucapan Pak Hadi itu membuat ruangan itu kembali hening. Semua mata kini juga tertuju pada Pak Hadi.

"Dengan catatan, Anjas juga dikeluarkan." Pak Hadi menambahkan dengan senyumnya.

Hening.

"Atau," Pak Hadi lebih menegakan punggungnya, "bisa saja hanya Gael yang keluar, tapi saya bisa pastikan akan ada kebrobrokan sekolah ini di media masa."

Gael melirik Pak Hadi dan mengulum senyumnya. Pria itu, selalu membela apapun yang Gael perbuat. Memang tugasnya begitu.

"Apa maksud Bapak?" Pak Rudi bertanya tak senang. Ada sedikit kekhawatiran di wajahnya yang coba dia sembunyikan.

"Apa perlu saya sebutkan semuanya? Kita yang ada di ruangan ini juga tahu jika beberapa bulan lalu sekolah ini -"

"Cukup!" Pak Rudi memotong. Pria itu menelan ludah di tempatnya.

Siapa yang tak tahu tentang masalah itu. Pak Rudi selaku kepala sekolah meminta sejumlah uang kepada orang tua siswa yang anaknya diancam akan dikeluarkan dari sekolah karena berbagai kasus.

Pak Hadi masih tersenyum di tempatnya, menatap Pak Rudi dengan sopan yang malah membuat pria itu semakin khawatir.

"Baiklah, saya akan memberikan kesempatan untuk Gael tapi-"

"Tak perlu Pak, saya rasa sekolah ini tidak cukup baik untuk Gael." Pak Hadi menatap sekelilingnya. "Jadi mari akhiri di sini saja, karena saya yakin masih banyak sekolah yang jauh lebih baik untuk Gael."

Ruangan itu lagi-lagi heninh dalam beberapa detik. Bahkan Pak Rudi tak tahu harus berkata apa. Semua kata-katanya seakan menguap begitu saja.

Detik berikutnya, Gael bangkit, menatap Anjas sekali lagi lalu berbalik dan keluar begitu saja.

Pak Hadi ikut bangkit, tak lupa memberi senyumnya sebelum benar-benar pergi. "Saya permisi Pak. Semoga hari Bapak menyenangkan."

Menyenangkan apa nya? Karena kini Pak Rudi sudah was-was jika berita itu benar-benar sampai ke media masa. Reputasinya akan dipertaruhkan.

Anjas menoleh, sangat senang saat akhirnya dia bisa membuat Gael keluar dari sekolah itu. Maka, dia akan mengucapkan terima kasih pada Pak Rudi. "Pak saya-"

"Jika Gael keluar dari sekolah ini, maka kamu juga harus begitu." Pak Rudi menoleh ke arah Anjas sebelum bangkit, keluar dari ruangannya, meninggalkan semuanya yang terkejut.

Tangan Anjas terkepal, ingin sekali meninju kembali wajah Gael. Niatnya yang ingin membuat masalah agar cowok itu dikeluarkan dari sekolah justru menjadikan boomerang untuknya. Pamannya pasti marah besar jika tahu semua ini.

Di sisi lain, Gael melangkah mantap menyusuri koridor sekolah menuju parkiran.

"Tuan,"

Cowok itu menghentikan langkahnya begitu mendengar panggilan Pak Hadi. Dia menoleh pelan. "Pak Hadi pulang aja, mau cari sekolah baru buat saya kan? Yaudah, saya pergi dulu." Senyum cowok itu terbit dan kembali melangkah menjauh.

Pak Hadi menghentikan langkah dan menghembuskan nafas di tempatnya. 4 tahun belakangan ini dia  menjadi orang kepercayaan Ramos yang tak lain adalah ayah Gael. Tugasnya untuk menjaga anak laki-laki itu. Tapi nyatanya tak mudah. Gaji besar yang didapatnya serasa sebanding dengan kerja kerasnya untuk menghadapi anak seperti Gael.

Detik berikutnya ponsel pria itu berbunyi menandakan pesan masuk.

'Jangan buru-buru amat cari sekolah buat saya Pak, mending Bapak santai dulu, minum kopi.'

Hanya sederet kalimat itu tapi mampu membuat Pak Hadi kembali menghembuskan nafasnya.

Tak pernah dia dapati Gael merasa khawatir setelah membuat masalah. Yang ditangkap Pak Hadi, anak laki-laki itu justru selalu ingin membuat ayahnya marah walau nyatanya, Pak Hadi tak pernah melihat Ramos marah pada anaknya itu.

Sudahlah, dia digaji untuk selalu membela Gael. Memastikan anak laki-laki itu tidak pernah kekurangan apapun, juga, membuatnya tidak pernah mendapatkan kesusahan.

**********************************

Jangan lupa vote dan komen yaw. Sesederhana itu gue sudah merasa dihargai =)

Gael Aland (Completed)Where stories live. Discover now