TWO

227 26 3
                                    

***

Tinggal menghitung jam menuju hari bahagianya, Rachel masih saja sibuk mondar-mandir di kamar. Ia terlihat sedang mengecek kembali kopernya yang akan dibawa untuk bulan madu ke Hawaii setelah selesai acara ini. Ia bahkan sudah mengemasi Dua koper besar dan Satu tas ransel untuk persiapan bulan madunya. Selalu menjadi ciri khasnya untuk tampil sempurna tanpa kurang suatu apapun. Untuk itu Ia tak pernah melewatkan sedikit waktu luangnya mengecek barang yabg akan Ia bawa.

"Kau sudah mengecek tas itu selama ratusan kalinya sejak kemarin," tegurku menghampirinya.

"Hanya tidak ingin melupakan sesuatu."

"Sebaiknya kau cepat bergegas."

"Apa gaunku sudah tiba?"

Aku mengangguk lalu menggerlingkan mata. "Semua sudah terkendali, Tuan Putri."

Rach tersenyum lebar kemudian duduk anggun membiarkan para perias melakukan tugasnya.

Aku melangkah keluar ruangan sembari berkeliling memantau keadaan. Beberapa orang nampak sedang merapikan hiasan bunga-bunga, beberapa orang lainnya tengah menyiapkan altar pemberkatan, beberapa orang lagi sibuk menyiapkan meja sajian makanan. Mereka hilir mudik memenuhi taman belakang kediaman Graham yang sangat luas.

Pekarangan belakang rumah Rach memang menjadi tempat favoritku setiap kali berada disini. Luas taman yang bisa menampung lebih dari 1000 orang ini terdapat hamparan rumput hijau segar, juga bunga warna-warni. Tak heran jika semua flora diseluruh area pekarangan ini selalu tampak terawat dan indah. Nora tak pernah melupakan untuk menyiram flora miliknya. Bahkan Ibra sampai membangun rumah kaca di ujung taman untuk menyimpan bunga-bunga yang terbilang langka.

Sesederhana itu cinta Ibra terhadap Nora. Demi membuat Istri tercintanya bahagia, Ibra rela menghabiskan harta nya untuk membeli semua bunga-bunga langka sekalipun hingga keujung dunia. Dulu kemesraan mereka selalu membuat Ibuku merasa iri sekaligus ikut bahagia atas keberuntungan yang didapat sahabatnya. Meskipun Ayah sering menyiksa dan bersikap kasar pada Ibu, tapi dia yakin bahwa Pria busuk itu mencintainya. Teori cinta buta itulah yang akhirnya merenggut nyawa Ibu.

Para staff wanita yang hendak sibuk mondar-mandir kini tengah berkerumun untuk berbisik-bisik. Mereka tengah menggosipkan sesuatu yang awalnya aku mengira mereka membicarakan aku. Namun pandangan mata mereka tertuju pada sesuatu atau seseorang di belakangku. Aku menoleh dan mendapati orang yang para staff wanita itu bicarakan berada tepat dibelakangku.

Wajah terkejutku seolah muncul, jantungku kembali berdegup kencang, melihat sosok Pria yang berada di hadapanku. Dia datang. Dia disini. Levin Spencer!

"Sepertinya aku datang terlalu awal ya?" Ia berucap dengan nada santai memghampiri ku.

Aku berdeham, menegakkan tubuhku sembari berkata, "Pemberkatan mulai pukul 10. Silahkan nikmati waktu mu saja dulu. Permisi."

Terburu-buru aku menjauh darinya, namun tubuhnya menghalangiku dengan cepat. "Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Bukankah seharusnya kau menyapa dulu?"

Mendengar hal itu, pun tawa ku lepas begitu saja berusaha menghilangkan rasa gugup yang menyergapi. Dapat terlihat raut kebingungan dari wajah nya. "Tak perlu bercanda, Tuan. Kita bahkan tidak pernah menjadi teman yang cukup akrab untuk saling menyapa."

"Kau yang tahu kita lebih dari itu," bisiknya sambil mendekatkan wajahnya kepadaku.

Sontak tawaan pun menghilang dari wajahku diganti ekspresi datar.

Ia mengeluarkan seringaian andalannya menatap wajahku. "Senang sekali rasanya bisa kembali melihat tawa itu. Dulu... kita sering melakukannya bersama."

A MOMENT IN NOVEMBERWhere stories live. Discover now