PROLOG

347 25 0
                                    

8 Tahun Sebelumnya.

Plains, Georgia, May 2011

Kota kecil di Georgia dengan udara sejuk bahkan di musim panas sekalipun membuatku makin mencintai kota ini. Tidak ada musim dingin yang berlebihan sehingga tidak perlu memakai pakaian dingin berlapis-lapis. Juga tidak ada musim panas yang hingga menyengat kulit. Secara teknis, aku membenci musim panas. Satu-satunya yang kucintai dari kota ini adalah pemandangan yang di penuhi pepohonan hijau. Meskipun sedang musim panas, namun kota ini tetap rindang.

Bukan karena libur musim panas yang banyak di tunggu semua murid di Maine High, tapi karena rencana musim panas mereka. Pergi berlibur ke Hawaii, mengunjungi pulau eksotis di Bali, bahkan ada yang mendapat tiket gratis ke Malibu. Terkutuklah mereka dengan kesempurnaannya. Aku menatap bekal makan siang yang bertempat di kaleng bekas yang Logan temukan di tempat kerjanya sebagai pramusaji. Dia menghabiskan waktu untuk mengurusku dan membiayai kehidupan kami sejak Ibu meninggal dan Ayahku yang brengsek.

Kakak lelaki ku itu bahkan rela menunda keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di bidang penerbangan. Dia perlu menunggu sampai aku lulus sekolah beberapa bulan lagi. Sampai aku siap untuk memulai perjalanan ku sendiri.

"Oh Tuhan, lihatlah yang dia makan?" Segerombolan gadis-gadis populer menghampiriku. Ketuanya, Olivia Spencer mengambil kaleng berisi sandwich buatan Logan dengan kedua jarinya dan menatap itu jijik. "Tidak heran jika yang berasal dari sampah pasti makanannya sampah." Ia kemudian melemparkan makananku ke lantai dan menginjaknya.

Aku bangkit mengatukkan gigiku karena marah. "Apa yang kau lakukan,Jalang?!" Teriakku sambil mendorong tubuhnya dan melirik makananku yang dia hancurkan.

"Jalang berteriak jalang. Kau bercanda? Keluarga ku bukan seorang pecandu dan pembunuh," ejeknya lagi. Dia tidak akan pernah berhenti bukan?

Aku membusungkan badanku, menantangnya. "Menyombongkan harta dan martabat keluargamu jauh lebih rendah dari seorang jalang. Ku kira kau tidak pantas disebut 'terhormat'." Ejekanku itu pun berakhir tamparan yang amat keras sehingga meninggalkan rasa panas di sekujur tubuhku yang kini jatuh tersungkur dibawah kakinya.

Seakan tak puas menamparku, Olivia menambahkan tendangan tepat di wajahku. "Kuharap kau cukup tahu diri untuk tidak berkeliaran disekitar sekolah ini, Sampah. Bahkan aku bisa mencium bau busuk alkohol dan obat-obatan dari jauh sini. Kau memberikan pergaulan yang buruk."

Dengan sekuat tenaga aku bangkit dan menggigit bibirku menahan keinginan untuk menangis di hadapannya. "Apa sih masalahmu? Jelas bukan kau yang membiayai sekolahku." Teriakku padanya.

"Kau tidak berhak berada disini. Keluarga Larson tidak pantas mendapat pendidikan sedikitpun!"

Kedua teman dibelakangnya tertawa. Si rambut hitam keriting yang tidak kuketahui namanya itu membuka mulut. "Mau kau sekolah dimanapun dan setinggi apapun, pecundang akan tetap menjadi pecundang."

Aku mendengus menatapnya. "Baik. Anggap aku akan selalu menjadi pecundang. Apa itu merugikan kalian? Apa selama ini aku makan dari uang kalian? Seharusnya kalian malu! Tidak ada yang bisa dibanggakan dari kalian gadis-gadis bodoh." Aku menyilangkan tanganku ke dada. "Setidaknya aku tidak pernah merengek mengemis uang pada orang tuaku!"

Aku menghela nafas merasakan dingin dari minuman soda yang membasahi rambutku, serta marah telah menyediakan bahan tawaan dari seluruh murid. Olivia dan teman-temannya pergi begitu saja setelah menumpahkan makanan dan minuman mereka ke seluruh tubuhku.

Jika kau bertanya rasa malu padaku, aku tidak merasakan itu sama sekali. Untuk apa? Kehidupan ku sudah sangat memalukan karena semua orang tahu bahwa aku adalah sampah. Malu hanya karena di bully oleh mereka sudah tidak ada dalam kamusku.

A MOMENT IN NOVEMBERWhere stories live. Discover now