Bab 2.2 - The Girl and The Wolf

974 79 5
                                    

Bab 2

The Girl and The Wolf

Arnette berusaha mengatur napas sembari menjatuhkan tubuh dan duduk di bangku trotoar. Ia baru berhenti berlari setelah yakin si pembuat onar itu tak mengejarnya. Ia bahkan tak berani berlari ke arah rumahnya karena khawatir pembuat onar itu mengikutinya. 

Arnette membungkuk dan menatap kaki dan sandal jepitnya yang terkena cipratan cokelat. Menyedihkan sekali. Arnette menyandarkan tubuh di sandaran bangku. Ia mendongakkan kepala menatap langit. Ia menaikkan satu tangan di atas wajahnya, menghalau sinar matahari pagi yang mulai terasa panas. 

Dalam kepalanya, Arnette sudah memerintahkan dirinya untuk segera pulang saja daripada berjemur dengan sia-sia seperti ini. Terlebih, sebentar lagi tiba waktu makan siang. Itu berarti, ia akan bertemu banyak orang yang pergi mencari makan siang. Arnette harus kembali ke kamarnya yang nyaman sebelum waktu sibuk makan siang tiba.

Meski begitu, tubuh Arnette seolah masih enggan beranjak. Lebih tepatnya, kakinya masih terasa lelah. Mentalnya juga. Barusan, ia tidak hanya berlari secara fisik, tapi mental juga. Dari pria gila itu.

Ada apa dengannya, sungguh?

Kenapa ia melakukan ini pada Arnette?

"Dasar cowok pembuat onar-pendendam-nggak punya sopan santun," maki Arnette dalam desisan.

"Itu buat aku?"

Suara itu membuat Arnette seketika menurunkan tangan dan menegakkan tubuh. Ia mendongak ke sumber suara dan terbelalak melihat siapa yang berdiri di belakang bangku tempat ia duduk tadi. Pria itu ada di sana, kemeja kotak-kotak birunya tersingkap tertiup angin, menampakkan kaus abu-abu dengan tulisan 'Death'. Kata yang tepat untuk menggambarkan posisi Arnette sekarang.

Arnette melompat berdiri dan hendak kabur lagi, tapi kakinya tersandung kaki bangku. Tak cukup merasakan perih di jari kakinya, Arnette harus menanggung sakit yang lebih parah pada harga dirinya ketika ia jatuh di sana. Arnette tahu lututnya terluka ketika ia merasakan perih di sana. Namun, ketika ia menarik kakinya untuk mengecek kondisi lututnya, ia bisa melihat langsung lukanya lewat celana jeans yang robek akibat jatuhnya tadi.

"Berhenti lari. Aku bukan penjahat yang mau ngebunuh kamu."

Kalimat pria itu membuat Arnette mendongak. Ia bergeser menjauh dari pria itu ketika ia berjongkok.

"Kenapa kamu setakut itu sama aku?"

Pertanyaan bodoh. Apa pria itu lupa pertemuan pertama mereka? Bagaimana pria itu bahkan mengancam Arnette. Hanya orang bodoh yang mau terus berurusan dengan orang sepertinya.

"Sebenarnya, aku masih kesal sama kamu," aku pria itu.

Lihat itu!

"Tapi, aku mau ngubah rencanaku," lanjutnya,

Arnette mengeutkan kening. Ia menatap pria itu curiga. Terlebih, ketika pria itu tiba-tiba mengulurkan tangan.

"Aku Javas. Sahabatnya Wildan. Meski berkali-kali dikhianati sama dia."

Arnette mengerjap. Javas. Lalu apa?

"Mulai sekarang, kita temenan, oke?"

Ini ... masalah apa lagi?

Javas mengedik ke arah tangannya.

"Teman?" tuntutnya.

Alih-alih menyambut uluran tangan itu, Arnette kemudian berdiri. Namun, di depannya, Javas tidak langsung berdiri. Dari tempatnya, ia mendongak menatap Arnette.

"Aku ditolak?"

Pria ini pasti akan mencoba melakukan hal-hal menyebalkan lainnya untuk mengganggu Arnette. Namun, jika Arnette menerimanya ...

"Oke." Pria itu sudah berdiri sebelum Arnette mengambil keputusan.

Namun, mengejutkannya, pria itu tersenyum. Ia kemudian berkata, "Pelan-pelan aja. Kalau hari ini aku ditolak, aku bisa coba lagi besok. Kalau gitu, sampai ketemu besok, Teman. Aku akan mulai kerja di kafe, jadi kita bisa ketemu tiap hari."

Apa? Apa pria itu sudah gila?

Seolah Arnette mau bertemu dengannya.

Arnette tersentak dan mundur ketika pria itu tiba-tiba berlutut di depannya.

"Jangan gerak, atau aku akan gendong kamu dan nyulik kamu," ancamnya.

Arnette membeku mendengar itu. Tatapannya jatuh ke kepala pria itu yang menunduk. Jika Arnette memukul belakang kepalanya, ia bisa membuat pria itu pingsan. Namun, ia harus memukulnya cukup keras. Titik yang paling ampuh itu ...

Rencana yang tersusun di kepala Arnette terpecah ketika pria itu tiba-tiba berdiri. Refleks Arnette melangkah mundur. Namun, dirasakannya sesuatu seperti menggantung di kakinya.

Ketika Arnette menunduk, ia melihat kain kotak-kotak biru terikat di lututnya yang terluka. Ketika menyadari kain apa itu, Arnette mendongak. Sejak kapan Javas melepas kemejanya?

"Tadinya mau aku sobek, tapi itu mahal. Jadi, meski rasanya nggak enak, tahan aja sampai nanti kamu sampai rumah dan obatin lukanya. Daripada nanti infeksi. Aku dulu pernah hampir mati gara-gara infeksi," tandas Javas.

Apa ia sedang menakut-nakuti Arnette?

"Itu juga buat jaminan kita ketemu besok. Itu beneran mahal, jadi pastiin besok kamu balikin itu ke aku."

Setelah mengatakan itu, Javas berjalan mundur.

"Tunggu!" panik Arnette.

Namun, Javas tidak mendengarkannya dan malah melambaikan tangan. Seolah itu yang Arnette butuhkan!

Arnette hanya bisa menatap putus asa ketika Javas menyeberang dan masuk ke mobil yang terparkir di seberang. Ia menunduk, dengan lesu menatap kemeja milik Javas yang terikat di lututnya. Sekaligus, mengikat dirinya agar tak lari dari pria itu. 

***    
 

Lost in Your Eyes (End di Karyakarsa allyjane)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang