Bab 8

61 7 0
                                    

          Kalau Megi Z bilang lebih baik sakit gigi daripada sakit hati maka Evan tidak membenarkan salah satu di antaranya. Sebab ada dua alasan, pertama dia pernah patah hati dan rasanya itu buat Evan galau sampai tujuh tahun, banci 'kan? Playboy gagal move on tujuh tahun, harus dikasih reward paling tidak rok mini. Dan alasan kedua karena sakit gigi itu bikin Evan mau ngamuk tak tentu, bising sedikit bawaanya mau menembak orang, tapi Evan ingat dia 'kan amatiran soal tembak-menembak, kalau menembak perempuan melalui hati sih Evan ahlinya, itu kata ketiga sahabatnya. Karena sejauh ini eksistensi Evan sebagai pria lapang dada yang sering diterima oleh setiap perempuan masih merajai, tapi sialnya runtuh hanya karena seorang Arum Liana Erlangga yang juteknya amit-amit, tapi sialnya pula Evan gagal move on dari si cantik jutek itu. Evan 'kan kelimpungan jadinya.

Alvin, Devon, dan Elga mendadak mendarat di apartemennya untuk apalagi kalau bukan untuk merecokinya dan membuat Evan mau menangis karena rasa sakit giginya kembali ngilu. Ini gara-gara Puri yang cerobohnya minta ampun, perempuan cantik jelita itu malah seenak jidatnya memasukan cokelat ke dalam kopinya, Evan benci cokelat karena cokelat membuat giginya ngilu-ngilu.

"Bisa tidak kalian diam?" Evan membentak tak karuan, matanya sudah berkaca-kaca tapi gengsinya yang segede babon membuatnya enggan menangis, apa itu laki-laki kalau cuma sakit gigi nangis mirip banci, Evan tidak suka itu.

Alvin yang pertama menolah di ikuti Devon, mereka sedang main Playstation tiga yang entah darimana mereka dapat karena seingat Evan, Evan tidak pernah beli PS 3. Lain lagi dengan si bungsu nan kaku Ravelga yang lebih memilih berkutat dengan majalah otomotif milik Evan. Ya mungkin di saat seperti inilah Evan mensyukuri jiwa diam Elga.

"Kita memang diam 'kan, Van? Dari tadi tidak ada yang lari kok."

Evan menjambak kasar rambutnya dan kembali masuk kamar, membanting pintunya keras-keras hingga membuat ketiganya berjengit kaget. Tapi Alvin dan Devon sudah kebal dengan kekasaran Evan yang super dramatis, kalau Elga sudah terlalu biasa karena menganggap semua orang mirip angin lalu semata. Si bungsu itu memang harus disekolahkan di sekolah seni berekspresi, itu cetusan ide gila Alvin ketika menyadari kalau Elga irit ekspresi padahal mereka tengah menonton OVJ, tapi si kaku itu malah tampak biasa-biasa saja, tidak tertawa sedikitpun. Mungkin kalau acara Tahan Tawa kembali digelar maka cucu kesayangan Rahadian Danuarta itulah yang menjadi pemenangnya, Devon kadang mengernyit dan bertanya pada Elga tentang hormon kebahagiaan dalam diri Elga berapa, dan pria itu hanya menjawab seadanya. Jawabnya begini. Hormon kebahagiaanku ada dalam diriku dan diatur oleh Tuhanku, kalau kamu bertanya jumlahnya maka aku belum tahu. Devon bertepuk tangan saat itu juga karena menyadari kalimat Elga yang cukup panjang. Bukan makna kata Elga.

"Elga. Bagaimana dengan menghubungi Arum?" Tanya Alvin pada pria yang menurut desas-desus tapi sial harus Alvin akui bahwa si bungsu memang yang paling tampan. Alvin bertanya pada Elga supaya Elga tidak kering gigi, kasihan 'kan jarang bicara.

"Untuk apa?" Elga bertanya dengan nadanya yang datar, Devon kadang berpikir kalau semasa sekolah Elga pasti tidak pernah mempelajari bahasa Indonesia, buktinya mereka kadang sulit membedakan pertanyaan dan pernyataan dari Elga.

"Ya supaya si Evan cepat sembuh." Sahut Alvin asal.

Elga mengernyit. "Memang sejak kapan Arum berubah jadi kapsul obat?"

Nah! Ini yang selalu dikhawatirkan Alvin, Devon, bahkan Evan. Elga itu sering nonton film kanak-kanak ketimbang dewasa, makanya imajinasinya terlalu berlebihan begini.

"Ampun deh." Devon menepuk jidatnya lebay. "Maksudnya Alvin itu supaya Evan jadi semangat cepat sembuh kalau ada Arum."

Elga mengangguk sekali dan berkata. "Lakukan saja kalau itu yang terbaik."

(TGS 3) Oh! Liana!Where stories live. Discover now