[3] Perjanjian

495 61 5
                                    

“Aku sudah tahu mengenai hal itu, pria penolong,” ucapku. “Pertanyaanku sekarang adalah, mengapa kakakku dan Harry Styles bermusuhan layaknya kucing dan anjing?”

Zayn menautkan alisnya. “Sungguh, aku tidak tahu,” jawabnya. “Setiap kali aku bertanya pada Harry, ia selalu menghindar. Entah itu mengganti topik pembicaraan, atau mendiamkanku.”

“Baiklah, kalau begitu kau boleh pergi sekarang. Ini cincinmu, pria penolong.” Aku memberikan cincin yang kutemukan kepada Zayn. “Jaga cincin itu baik-baik, karena mungkin di lain waktu, kau tidak akan seberuntung sekarang,” lanjutku, kemudian langsung berusaha menutup pintu.

Namun Zayn menahannya—akupun mengerutkan dahiku. Mau apa lagi dia?

“Apartemenku sedang mati lampu, Alessia,” kata Zayn memberitahu. Ia memasang raut wajah sedih yang dibuat-buat sebelum melanjutkan kalimatnya, “Pihak apartemen memberitahu bahwa kamar apartemenku akan padam lampunya sampai esok hari.”

“Lalu?”

“Bolehkah aku menumpang di apartemenmu? Hanya sampai malam ini saja?” tanya Zayn. “Ayolah, Alessia. Bukankah aku sudah menolongmu dua kali?”

“Oh, jadi kau tidak ikhlas?” tanyaku. “Kau tidak boleh menumpang di apartemen ini—oke boleh—eh tidak! Kau tidak boleh, pria penolong. Ini adalah apartemen milik Dave.”

Diluar perkiraanku, tiba-tiba Zayn berlutut dan memohon-mohon di hadapanku. “Tolonglah diriku yang malang ini, Nona Lincoln. Aku berjanji akan pergi ketika Dave pulang, dan aku sendiri yang akan menjelaskan pada Dave bahwa aku kesini hanya untuk menumpang.”

Aku membantunya berdiri lalu berkata, “Baiklah, baiklah. Permintaanmu diterima, tetapi dengan satu syarat!”

“Apa itu?”

Aku berdeham. “Kau harus menemaniku keliling London selama aku berada di kota ini!” seruku dengan lantang.

Menurutku itu adalah sebuah syarat yang bagus mengingat Dave pasti tidak akan mau menemaniku keliling London karena tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk. Sedangkan kedua orang tuaku baru akan datang tiga minggu lagi.

Wajah Zayn berseri-seri. “Syarat yang mudah! Sekarang, aku boleh masuk ke apartemenmu, kan?”

“Ya, boleh.”

Zayn langsung melangkah masuk dan duduk di sofa ruang tamuku. “Apartemenmu bagus, tetapi terlalu kosong. Kau harus menambahkan beberapa perabotan lagi.”

“Ini bukanlah apartemenku, pria penolong. Ini adalah apartemen milik kakakku—Dave,” ujarku. “Ngomong-ngomong, kau mau teh?”

Zayn menggeleng. “Aku kesini hanya untuk menumpang, bukan untuk merepotkanmu.”

“Kau adalah tamuku, jadi aku harus memperlakukanmu dengan baik selama kau masih menginjakkan kedua kakimu di apartemen ini.” Aku membuat secangkir teh panas dan memberikannya pada Zayn yang tengah mengenyakkan tubuhnya ke sofa ruang tamu.

“Kalau begini caranya, aku akan mampir ke apartemenmu setiap hari agar aku mendapatkan secangkir teh gratis.” Zayn menyesap teh yang telah kubuat, lalu melanjutkan pembicaraan, “Sebelumnya, aku tak pernah melihatmu berada di apartemen ini. Bahkan aku baru tahu kalau Dave mempunyai seorang adik perempuan.”

“Tentu saja kau baru melihatku,” ujarku, “Selama ini, aku tinggal di Sydney bersama kedua orang tuaku. Hanya saja baru-baru ini aku disuruh untuk berlibur ke London oleh kedua orang tuaku.”

Ting Tong

Apakah itu Dave? Celaka, perang dunia ke tiga akan dimulai dalam beberapa menit lagi.

“Apakah itu Dave?” Zayn bertanya dengan suara yang sangat pelan. “Apa yang harus kulakukan?”

“Mengumpatlah!” seruku kepada Zayn.

“Alessia, aku pulang!” teriak Dave. “Cepat buka pintunya, aku membawakan sekaleng Arizona untukmu.”

Zayn berlari kesana-kemari untuk mencari tempat mengumpat yang paling ideal, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengumpat dibelakang tirai jendela apartemen Dave. Aku yang menganggap Zayn sudah aman, langsung membuka pintu dan mempersilahkan Dave masuk.

Tepat ketika aku membuka pintu apartemen, Zayn keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata, “Oh tunggu! Tehku belum habis.”

Bodoh. Sekarang, kurasa aku tak bisa melakukan apa-apa lagi. Perang dunia ke tiga telah resmi dimulai.

Dave berlari untuk menangkap Zayn, tetapi Zayn menghindar. “HEY MALIK! APA YANG KAU LAKUKAN DI APARTEMENKU?!”

Zayn yang sudah kelelahan, kini memutuskan untuk berhenti berlari. “Baiklah, dengarkan aku, Dave,” katanya yang kini sudah menyerah. “Aku kemari hanya untuk mengambil cincinku yang kebetulan ditemukan oleh adikmu—Alessia. Lagipula, bukankah kau hanya membenci Harry? Lalu kenapa aku terkena imbasnya juga?”

“Apakah itu benar, Alessia?” tanya Dave.

“Ya, dia benar.”

Dave melipat tangannya. “Oke, kalau begitu aku memberikanmu waktu sepuluh detik untuk keluar dari apartemenku. Jika melewati batas waktu, kau akan habis,” ujar Dave kepada Zayn.

“Selamat tinggal, Alessia,” ucap Zayn. “Sampai ketemu besok.” Zayn melambaikan tangannya, kemudian bergegas keluar dari apartemen ini karena melihat tatapan kemarahan yang diberikan oleh Dave kepadanya.

“Apa kau benar-benar akan bertemu dengannya kembali?”

“Ya, aku akan benar-benar bertemu dengannya kembali,” kataku. “Ia akan mengantarkanku keliling London selama aku berada di kota ini—sesuatu yang tak akan kau lakukan untukku.”

“Kalau begitu, ucapkan selamat tinggal pada sekaleng Arizona ini!” Dave menjulurkan lidahnya sebelum ia membuka kaleng Arizona yang semula ia belikan untukku.

***

Keesokkan paginya—tepatnya pada pukul 9 pagi, aku sudah siap untuk pergi bersama Zayn. Dia memang belum bilang kapan ia akan menghampiriku, tapi apa salahnya jika aku bersiap-siap sekarang?

Ting Tong

Ah, akhirnya Zayn datang juga!

Aku membuka pintu apartemen ini, tapi ketika aku sudah membukanya, ada sesuatu yang salah—yang datang bukanlah Zayn. “Halo, aku Harry Styles dan aku adalah pria yang akan menemanimu keliling London untuk hari ini. Zayn tidak bisa menemanimu karena dia akan melamar kekasihnya siang ini.”

***

TO BE CONTINUED

A/N: Maaf yaa kalo awalnya2 ngebosenin ginii. Btw, mending pake Alessia's POV atau Author's POV?

Heart of LocksWhere stories live. Discover now