[1] Pertemuan Pertama

1.5K 79 7
                                    

“Alessia, kamu harus pergi meninggalkan Sydney untuk menemui kakakmu–Dave di London.”

Kepergianku ke London berawal dari satu kalimat yang dikeluarkan oleh Dad satu minggu yang lalu. Sedih? Kurasa tidak. Aku senang bisa meninggalkan Sydney yang penuh dengan kenangan kelam meski hanya untuk sementara.

“Hey, pesawat ini akan mendarat dalam lima menit,” tegur pria dengan aksen britishnya yang terdengar kental. “Lebih baik kau mempersiapkan barang-barangmu.” Ia mengunyah permen karetnya kembali sembari mengambil tas ranselnya.

Aku mendongakkan kepalaku agar bisa melihat wajah pria tersebut. “Um, maukah kau mengambilkan koperku?” tanyaku.

Pria tersebut mengangguk. “Tunjukkan kopermu dan aku akan mengambilkannya.”

Aku tersenyum senang, lalu menunjuk sebuah koper berwarna ungu. “Yang itu, koper yang terdapat tulisan Alessia Lincoln.”

Pria british itu mengambilkan koperku dan langsung memberikannya kepadaku. Kini, kami berdua telah kembali ke kursi masing-masing dengan seat belt yang terpasang erat. “Namamu Alessia Lincoln?”

“Ya,” balasku, “Memangnya kenapa?”

“Tidak apa-apa, hanya saja aku merasa seperti pernah mendengar nama belakangmu sebelumnya,” jawab pria itu. “Mungkin hanya sebuah kebetulan.”

Tidak terasa, perlahan-lahan pesawat yang kutumpangi mulai menurun mendekati bandara Heathrow. Aku menutup mataku sampai kurasakan roda pesawat sudah mendarat di lapangan lepas landas bandara Heathrow. Aku telah sampai di kota London.

Aku menolehkan kepalaku untuk mencari pria yang telah menolongku untuk mengucapkan terima kasih–tapi ia sudah tak ada. Cepat sekali dia pergi.

***

Sudah pukul lima sore dan aku masih berada di bandara seperti orang hilang–tunggu–tampaknya aku memanglah orang hilang. Ini semua akibat ulah Dave yang sampai sekarang belum menjemputku. Buruknya, aku kehilangan secarik kertas yang bertuliskan nomor telepon ponsel Dave di London.

Aku terus mencari-cari kertas tersebut karena aku yakin, pasti kertas itu masih berada di sekitarku.

“Kau sedang mencari apa?” tanya seseorang mengangetkanku. Dialah pria yang membantuku di pesawat tadi.

“Kertas yang bertuliskan nomor ponsel kakakku,” jawabku singkat. Aku mencari-cari di pot sebuah tanaman yang menghiasi Heathrow.

“Apakah ini kertas yang kau cari-cari?” Begitu mendengarnya, aku langsung mencari wajah pria tersebut dan mendapatinya sedang memegang secarik kertas. Itulah kertas yang kucari-cari.

Aku meraih kertas tersebut dari genggaman pria itu dengan semangat. “Dari mana kau mendapatinya, pria penolong?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.

“Di lantai yang baru saja kau injak,” jawabnya dengan santai. Sebuah tawa kecil terukir di wajahnya.

Selebor. Itulah satu kata yang bisa mendeskripsikan diriku.

Pria itu menoleh–seperti sedang mencari sesuatu. “Aku harus pergi sekarang, teman-temanku sudah menjemput,” ujarnya. “Selamat tinggal, Alessia. Semoga kita bisa bertemu lagi nanti. Omong-omong, senang bertemu denganmu.” Ia berjalan menjauh dariku.

Belum sampai satu menit, bahuku sudah dipegang oleh seseorang. “Alessia!”

Aku mendapati Dave sedang terengah-engah. “Kenapa kau terengah-engah seperti itu, Dave? Seperti habis dikejar setan saja.”

“Tepatnya–aku terengah-engah karena menghindari setan,” celetuk Dave. “Aku habis berlari menghindari musuh bebuyutanku–Harry Styles.” Dave mengarahkan jari telunjuknya ke arah… pria yang sudah menolongku.

Heart of LocksWhere stories live. Discover now