Purpose - 1

79K 9.1K 457
                                    

Semakin merasa diri lebih baik,
Semakin terasa sulit diri ini menerima
Kebenaran dari orang lain

-Anonim-

Shafa duduk di sudut ruangan sambil mengamati beberapa ibu-ibu yang mengenakan gamis dan khimar yang sedari tadi mondar mandir di depannya. Dia melirik pakaian yang dikenakananya, gamis berwarna hijau muda dengan khimar yang sewarna. Tadi pagi terjadi drama antara dirinya dan ibu Azril. Shafa berniat mengenakan kebayanya yang telah disiapkannya sendiri sebelum datang ke sini, sedangkan keluarganya ternyata sudah memilihkannya pakaian lain.

Shafana mengamati pasangan pengantin yang duduk di kursi yang telah disiapkan, keduanya terlihat begitu bahagia dengan senyum yang tak lepas dari bibir kedua pengantin itu. Jangan bayangkan pesta pernikahan ini semewah pesta-pesat yang biasa dihadiri oleh Shafa, karena pesta ini jauh dari kata mewah, bahkan aneh menurut Shafa. Tamu undangan perempuan dan laki-laki dipisahkan oleh kain yang dipasang di tengah ruangan gedung. Tidak ada musik, seperti yang biasa terdengar di pesta pernikahan.

Sejak tadi pagi acara ijab qabul digelar di sebuah masjid dekat rumah Mutiara, yang terdengar hanyalah lantunan quran. Bahkan Azril membacakan ayat suci itu sebelum proses ijab qabul digelar. Shafa merasa aneh dengan ini semua. Benaknya bertanya-tanya, apa sebenarnya gaya ataupun adat yang mereka usung dalam pernikahan ini?

Dia tahu kalau selama ini keluarga Azril memang taat beribadah, tapi dia jadi bingung sendiri, kenpa juga pesta pernikahan harus digelar seperti ini? Aliran apa yang mereka anut?

Keluarga Azril adalah keluarga dari pihak ibu Shafa. Ibu Shafa dan ibu Azril adalah saudara kandung, itu yang menjadikan Shafa dan Azril sebagai sepupu. Ibu Shafa sudah meninggal saat melahirkannya, ayahnya pun menyusul tiga tahun lalu, menjadikan Shafa anak yatim piatu. Saat ini Shafa sedang menyelesaikan kuliah S1 nya di Jakarta, dia mengambil jurusan management bisnis, sesuai saran dari ibu Azril.

Shafa memang tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran apapun selama ini. Walaupun nilainya lumayan, tapi dia hanya menjalani saja semua itu sebagai kewajibannya. Shafa tidak benar-benar menikmatinya. Kuliah hanya dijadikannya sebagai pengisi waktu luang saja, karena untuk masalah uang, untungnya ayahnya meninggalkan lumayan banyak harta yang bisa menanggung hidup Shafa beserta cucunya nanti. Ayah Shafa meninggalkan banyak kontrakan di Palembang, yang setiap bulan dan juga setiap tahunnya menghasilkan uang yang masuk ke rekening Shafa. Apa lagi yang dia cari?

Bebeda dengan keluarga Azril yang memang sederhana, ayah Azril mempunya toko pakaian sekolah di pasar, sepanjang hari dihabiskan kedua pasangan itu di pasar. Sedangkan Azril saat ini sedang menjalankan bisnis rumah makannya. Shafa tahu, bisnis Azril tidak berjalan lancar beberapa tahun lalu, tapi sepertinya saat ini sudah mulai berkembang.

Shafa ingin membagi uangnya untuk keluarga Azril, karena Shafa sudah menganggap mereka sebagai orangtua dan juga saudara kandungnya, tapi Shafa selalu mendapat penolakan.

"Shafa udah makan?" tanya ibu Azril.

"Nanti aja Wak Ibu," jawab Shafa.

"Makanlah, itu sama yang lain."

Shafa mengangguk, lalu bangkit dari duduknya, hampir terjatuh karena terinjak gamisnya yang panjang. Shafa mengangkat gamis itu saat berjalan, dan membuat kening ibu Azril berkerut.

"Kok, gitu jalannya?"

"Ribet Bu."

Ibu Azril tersenyum, "Nggak ribet, coba lepas terus jalan, itu longgar nggak ketat jadi kamu jalannya bisa lebih bebas."

Shafa melepaskan cekalannya dari kain itu, lalu mulai berjalan, memang terasa lebih longgar dan lebih nyaman sebenarnya. Tapi Shafa tidak ingin mengakuinya. Shafana mulai mengambil makanannya lalu duduk di samping saudara sepupunya yang bernama Sabrina, adik Azril yang hanya berbeda satu tahun di bawah Shafa.

"Sab, itu kenapa sih, acaranya harus dipisah kayak gini?" tanya Shafa.

Sabrina tersenyum, gadis itu lebih dewasa dari usianya, mungkin karena didikan dari keluarganya juga yang membuatnya seperti ini. "Kenapa memangnya?" tanya Sabrina.

"Ya, aneh aja, tadi aku denger ibu-ibu di sana juga bilang aneh. Aliran apa sih?" tanya Shafa.

Sabrina kembali tersenyum. "Ini cara nikah yang benar sesuai tuntunan syariat Yuk, bukan aliran apa-apa."

"Ya, kenapa harus dipisah?"

"Ayuk... kalau kita salat, itu dipisah nggak perempuan sama laki-lakinya?" tanya Sabrina.

"Dipisah," jawab Shafa.

"Supaya apa?"

"Ya, kalau senggolan kan wudhunya batal."

"Betul, selain itu karena memang wanita dan laki-laki yang bukan mahram, dilarang untuk saling bersentuhan dan saling memandang secara berlebihan, itu bukan hanya dipakai saat kita beribadah aja, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Aturan syariat itu harus digunakan semuanya, bukan kita ambil mana yang kita suka dan buang mana yang nggak kita suka."

Shafana diam, jujur ini masih tidak bisa diterima secara logikanya. Bagaimanapun dia berpikir dia masih merasa ada yang aneh dengan semua ini.

"Yuk, dengar. Kebenaran itu karena syariat, bukan suara mayoritas," bisik Sabrina, sebelum meninggalkan Shafana diam dalam pikirannya sendiri.

******

Riley duduk di sebuah kursi kosong. Dia menegak air minum yang tadi dibelinya. Sudah dua minggu dia berada di tempat ini, tapi hal yang dilakukannya hanya berjalan dari satu tempat ke tempat lain, mengambil beberapa gambar dari satu tempat ke tempat lain.

Beberapa kali dia juga berdiskusi dengan orang yang ada di sini, tapi dia masih merasakan ruang kosong di dalam hatinya. Riley bertanya-tanya apakah tindakan yang diambilnya sudah benar? Meninggalkan kota kelahirannya dan berjalan untuk mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan yang memenuhi otaknya.

Kenapa dia tidak meneruskan pekerjaannya saja sebagai wakil direktur dari perusahaan yang dikelola keluarganya? Riley sudah memilki segalanya, dia punya harta, keluarga juga wajah tampan yang bisa memikat perempuan manapun. Tapi tetap saja dia merasa hampa.

Kata orang tujuan hidup adalah untuk bahagia. Apa ukuran bahagia itu sendiri? Karena kalau hanya  harta, Riley sudah memiliki semuanya tapi dia juga tetap tidak merasa bahagia.

Ada pertanyaan di dalam benaknya yang sampai sekarang tidak bisa dijawabnya. Apa sebenarnya tujuan hidup di dunia? Dari mana asal manusia? Lalu kemana perginya orang-orang yang meninggal?

Saat dia bertanya hal ini kepada orangtuanya, dia tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Jawabannya berputar-putar, asal manusia adalah dari orangtua mereka, dari orang sebelum orangtua mereka, dari orang sebelum orangtua mereka lagi. Terus seperti itu. Ada yang bilang juga, asal manusia dari Tuhan.

Lalu, apakah Tuhan itu ada?

Kalau ada, siapa?

Bagaimana bentuknya? 

Semua orang yang ditemuinya sudah pernah menjelaskan ini pada Riley, tapi dia masih merasa belum puas. Seolah Riley haus akan jawaban yang lebih bisa diterima oleh logikanya. Riley sudah lama meninggalkan agamanya, menurutnya agama hanya menjadi beban, mengekang dirinya untuk melakukan sesuatu. Bukankah banyak orang bilang agama itu sama? Lalu apa salahnya kalau dia tidak memiliki agama? Yang terpenting adalah dia tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain bukan?

Tapi walaupun begitu, tetap ada yang mengganjal dalam hatinya. Seolah tindakan yang diambilnya ini salah, tapi dia tidak tahu dimana letak kesalahannya.

******

Happy reading...

The Purpose of Life (DI HAPUS UNTUK PROSES PENERBITAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang